Tuesday 29 January 2013


A BIBLE ETHICS FOR INTERNET USER
Dewasa ini, kehidupan setiap orang tidak bisa dipisahkan dengan apa yang dinamakan komputer dan internet.  Bayangkan saja, situs Google, Facebook, dan YouTube mengalami peningkatan akses secara signifikan.  Hampir semua pengguna internet mengakses situs ini setiap harinya.  Lebih mengejutkan lagi, di tahun 2005 majalah Time memberikan gambar cermin untuk menobatkan Person of the Year tahun itu yang tak lain dan tak bukan adalah pembaca majalah Time itu sendiri.  Time memberikan catatan bahwa seluruh pengguna internet-lah yang menjadi Person of the Year tahun itu karena semua pengguna internet berperan besar dalam mengubah wajah dunia.  Setiap orang dapat mengekspresikan dirinya, berbagi semua hal melalui internet. 
Ibarat jamur, jumlah pengguna internet kian lama kian merebak dimana-mana.  Laju peningkatannya pun tidak bisa dihentikan.  Dari tahun ke tahun data statistik menunjukkan bahwa jumlah pengguna jasa internet terus mengalami peningkatan yang jauh lebih tinggi dari waktu-waktu sebelumnya.  Data statistik dari World Internet User and Population Stats mencatat bahwa dari 6.767.805.208 jumlah penduduk di dunia, 1.802.330.457 diantaranya telah menggunakan internet sebagai alat bantu untuk mencari data.  Jumlah ini jelas meningkat dengan begitu drastisnya jika dibandingkan dengan jumlah pengguna internet terakhir pada tahun 2000 yang hanya 360.985.492.[1]  Lebih-lebih lagi hal ini didukung dengan banyaknya teknologi modern seperti notebook, handphone, dan lain sebagainya yang turut mempermudah akses internet bagi setiap kalangan. 
Di Indonesia sendiri jumlah pengguna internetnya sudah mencapai sekitar empat puluh lima juta jiwa.  Data ini diambil berdasarkan jumlah pengguna internet baik dari media komputer maupun ponsel.  Jumlah ini meningkat begitu besar jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana pada tahun 1999 dicatat bahwa baru hanya ada sekitar satu juta jiwa pengguna internet di Indonesia.[2]
Ironisnya, perkembangan teknologi internet dan pengguna yang begitu besar tidak diikuti dengan perkembangan pengetahuan yang benar tentang pemakaian internet itu sendiri.   Akibatnya, banyak pengguna internet yang bergelut dengan masalah etika seperti pornografi dan pencurian data privacy seseorang.
Data statistik menunjukkan bahwa enam puluh persen dari pengguna internet telah masuk ke dalam situs seks dan pornografi.[3]  Begitu banyak materi-materi porno yang di-expose dengan begitu bebasnya di jejaring internet, dimana setiap orang bisa mengaksesnya dengan begitu cepat dan mudah.  American Demographic Magazine mencatat bahwa pada tahun 2003 terdapat 260 juta situs porno yang bisa di buka dengan bebas oleh berbagai kalangan yang memakai internet.[4]  Hal ini telah menjadi masalah yang sangat serius bagi perkembangan anak usia remaja.  Sudah begitu banyak anak-anak yang terlibat dalam kasus seks, pornografi, dan pelecehan seksual akibat dari jejaring internet yang mempublikasikan materi pornografi secara bebas.  The Kaiser Family Foundation menyatakan bahwa tujuh puluh persen anak remaja usia belasan tahun mengunjungi situs pornografi ketika masuk ke jejaring internet.[5]  Di sisi lain penelitian dari Finkelhor, Mitchell, dan Wolak dari Online Victimazation menegaskan bahwa jumlah pelecehan seksual dari anak-anak usia remaja semakin bertambah seiring bertambahnya jumlah pengguna internet.[6] 
Masalah lainnya muncul dalam kasus penyalahgunaan informasi.  Banyak orang yang tidak lagi merasa aman ketika mereka harus berjejaring di dunia internet.  Kasus-kasus seperti pencurian data privacy seseorang telah menjadi suatu hal yang sangat meresahkan dan merugikan banyak kalangan.  Ada orang yang kehilangan hartanya di bank karena pencurian data rekening.  Ada juga yang mengalami kebangkrutan karena pencurian data perusahaan oleh karyawannya sendiri.  Ada orang yang tertipu lewat penipuan melalui kedok hadiah.[7]  Bahkan ada juga yang orang yang difitnah melalui data-data pribadi yang seharusnya tidak dimiliki orang lain.  Kompilasi data dari vendor keamanan komputer memperkirakan bahwa pada saat ini terjadi satu pencurian identitas dalam setiap 3 detik atau setara dengan 10 juta informasi pribadi per tahun.  Informasi identitas personal yang bersifat umum seperti jenis kelamin, umur, alamat, e-mail dan pekerjaan serta data rahasia seperti nomor rekening bank dan data finansial adalah komoditas yang paling diminati di pasar underground.[8]
Tulisan ini akan mencoba memaparkan bagaimana masalah yang ditimbulkan akibat dari pelanggaran itu – secara khusus dalam kasus pornografi dan penyalahgunaan informasi.  Fokus dari artikel ini sendiri adalah untuk menjelaskan bagaimana sudut pandang etika dalam iman kristen dapat memahami dan menangani masalah-masalah ini.  Kasus per kasus tentang masalah pornografi dan penyalahgunaan informasi di dunia internet akan dijelaskan secara mendetail dalam artikel ini, dimana hal ini dimaksudkan agar pembaca dapat mengerti secara jelas bagaimana masalah yang ditimbulkan dan bagaimana seharusnya etika iman kristen mereka dapat mengatasi masalah ini.

PENGERTIAN PORNOGRAFI
            Sekitar satu dekade ini, internet dapat dikatakan identik dengan pornografi.  Dari hasil survei Top Ten Reviews, penulis mendapati bahwa ada lebih dari 4,2 juta situs porno atau sekitar 12% dari total situs di dunia.[9]  Berbicara tentang pornografi, penulis mendapati beberapa masalah karena arti dari istilah ini sungguh sangat obyektif sekali karena apa yang dinilai porno oleh seseorang belum tentu itu porno dalam penilaian orang lain.  Sebelum melangkah lebih jauh lagi, perlu diketahui bahwa cakupan pornografi dalam pembahasan ini hanya seputar masalah pornografi di jejaring internet saja.
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah pornografi diartikan sebagai penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi;  bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.[10]  Sementara itu, kamus bahasa Inggris Webster’s New Twentieth Century Dictionary menguraikan kata pornografi dari bahasa aslinya (Yunani), yaitu porne yang artinya prostitute dan graphein yang artinya to write, dan kata ini didefinisikan sebagai berikut[11]:
Originally, a description of prostitute and their trade; writings, picture, etc. intended to arouse sexual desire; the production of such writings, pictures, etc.
Jadi, dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa pornografi adalah tulisan atau gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu seksual orang yang melihat atau membacanya.  Namun, kemudian hal ini berkembang bukan hanya dalam bentuk tulisan dan gambar tetapi juga melalui berbagai media lain seperti film, tarian, lagu dan sebagainya.

BENTUK-BENTUK PORNOGRAFI DI INTERNET
            Pada zaman yang semakin maju ini, proses penyebaran pornografi menjadi sangat terfasilitasi, apalagi dengan adanya internet.  Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, kalau di internet kita akan dengan mudah mendapatkan berbagai materi yang berbau porno bahkan dalam berbagai bentuk, baik itu berupa cerita, gambar, film, atau chatting sekalipun.[12]  Penulis mendapati bahwa penyebaran materi porno di internet juga dipengaruhi oleh runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998 yang menyebabkan terjadinya liberalisasi arus informasi.[13]  Hal ini membuat Indonesia menjadi negara yang memiliki tingkat kebebasan tertinggi dalam regulasi internet.  Di Indonesia, setiap situs dapat diakses oleh siapapun.  Padahal, di negara-negara liberal di benua Eropa dan Amerika tetap mengeluarkan aturan mengenai situs yang tidak dapat diakses oleh oleh para konsumen internet, tetapi di Indonesia tidak.[14]
            Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju ini, internet menyuguhkan berbagai kemudahan dan keuntungan bagi para konsumennya, secara khusus bagi para penikmat pornografi.  Namun, justru dari berbagai kemudahan itulah semakin banyak orang yang terjebak dalam lingkaran setan dari pornografi.  Kemudahan itu di antaranya adalah informasi yang mudah diperoleh, gratis, tanpa identitas, dan dapat dikatakan sebagai sebuah “kebetulan.”[15]  Karena mudah diperoleh inilah yang membuat setiap orang yang dapat menggunakan internet dapat mengakses materi pornografi tanpa ada batasan usia.  Banyak pula materi internet yang disediakan gratis dari para provider yang membuat setiap orang dapat masuk ke situs ini dan menikmati materi porno dengan leluasa. Internet juga memberikan privacy kepada konsumennya karena tidak akan ada data seseorang yang telah masuk dalam situs porno.  Dan yang terakhir, banyak yang nampaknya materi porno ini didapat secara “kebetulan” melalui e-mail.  Untuk modus ini, provider justru mencari “mangsa” dengan mengirimkan spam-spam dengan content porno ke alamat e-mail si calon “mangsa.”  Dan dalam kasus ini, pornografi berkaitan langsung dengan pembahasan di bagian selanjutnya mengenai penyalahgunaan informasi dengan menggunakan internet.

DAMPAK PORNOGRAFI
            Pornografi banyak memberikan dampak baik itu positif maupun itu negatif dan baik itu secara individu ataupun dalam hubungan sosial.  Bagi sebagian orang, pornografi dianggap sebagai seseuatu yang tidak berbahaya baik bagi para modelnya maupun bagi orang yang melihatnya.[16]  Pornografi ini adalah sebuah hiburan dan dianggap memberikan keuntungan karena dapat dipakai untuk membantu orang dalam menghadapi ketidakpuasan seksual, dapat mengurangi ketegangan, dan fungsinya hanyalah sebagai sarana guna mengekspresikan kebutuhan seksual manusia.  Sementara itu, bagi para model dan orang-orang yang terlibat dalam bisnis ini, pornografi memberikan keuntungan yang besar karena dari pekerjaan itulah mereka mendapat penghasilan yang lumayan besar.[17] 
            Namun demikian, secara umum dapat dilihat bahwa rusaknya moral dan perubahan perilaku seseorang itu banyak disebabkan oleh pornografi.  Pornografi akan mendistorsi[18] pandangan seseorang terhadap seksualitas.  Seks tidak lagi dipandang sebagai suatu kekudusan yang harus dijaga tetapi sesuatu yang nilainya sangat rendah.  Seks itu sendiri nantinya hanya akan menjadi pemuas nafsu semata dan dalam jangka panjang akan akan mendorong seseorang ke arah free sex atau peprgaulan bebas, perselingkuhan, dan juga meningkatkan kasus kriminalitas di bidang seksual.  Dan apabila seseorang itu mengkonsumsi pornografi dalam waktu yang lama dan secara berkelanjutan, maka akan memberikan efek candu pada orang yang bersangkutan itu.[19] 
           
            Norman Geisler dalam bukunya yang berjudul “Christian Ethics: Contemporary Issues and Options” mengungkapkan bahwa dampak dari pornografi adalah sebagai berikut, yaitu pornografi menyebabkan agresi di antara individu-individu, pornografi menciptakan sebuah model perilaku binatang dalam diri manusia, pornografi mengakibatkan Neurosychology dalam diri manusia, pornografi menciptakan sejenis kecanduan yang mirip dengan kecanduan obat-obatan terlarang dalam otak, pornografi telah dihubungkan pada kasus kriminal yang lainnya, pornografi menyebabkan ketidaksempurnaan fungsi dari sebuah keluarga, pornografi mengijinkan ketidaksempurnaan seksual menjadi sebuah norma di masyarakat, pornografi diartikan sebagai fantasi seksual yang membawa kepada penyimpangan tingkah laku seseorang, pornografi menghentikan kencan yang normal, pacaran, dan hubungan pernikahan, pornografi mengakibatkan kesulitan finansial di dalam masyarakat, pornografi merendahkan hubungan seks sebagai perilaku binatang, dan pornografi menyebabkan degradasi aktifitas seksual.[20]

PORNOGRAFI DITINJAU DARI SUDUT PANDANG IMAN KRISTEN
            Pada intinya, pornografi itu adalah untuk membangkitkan gairah seksual.  Namun, menurut J.  H. Court, adanya kaitan antara pornografi dengan dengan imoralitas seksual.  Di dalam Alkitab telah sangat jelas dituliskan mengenai hal ini.  Dalam Matius 5:28 disebutkan bahwa jika seseorang laki-laki memandang seorang wanita dan menginginkannya, maka laki-laki itu dapat dikatakan sudah melakukan sebuah perzinahan di dalam pikirannya.  Sementara itu, King menyebutkan bahwa pornografi itu merupakan suatu hal di mana manusia telah menggantikan kemuliaan Allah dengan gambaran manusia dan hewan.  Pernyataan ini sesuai dengan apa yang dituliskan oleh rasul Paulus dalam Roma 1:23, 25.[21]
            King memberikan penambahan bahwa melalui tiga kata yang digunakan oleh rasul Paulus dalam menuliskan surat-suratnya yang memberi arti sebagai dosa seksual, yaitu aselgeia, epitimo, dan porneia itu menggambarkan dosa seksual yang dengan jelas terlihat dalam pornografi.  Berangkat dari setiap pengertian ketiga kata itu pornografi adalah sebuah gaya hidup yang tidak bermoral, dorongan untuk mencari kepuasan, dan hawa nafsu.[22]  Bagi Paulus, dosa seksual itu merupakan sebuah dosa yang sangat serius.  Ini terlihat dalam Efesus 5:5, “Karena ingatlah ini baik-baik: tidak ada orang sundal, orang cemar atau orang serakah, artinya penyembah berhala, yang mendapat bagian di dalam Kerajaan Kristus dan Allah.”  Kata “orang sundal” yang dipakai oleh Paulus adalah pornos yang akar katanya adalah porneia.  Jadi, orang-orang sundal itu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Kristus.[23]
            Dalam buku Christian Ethics, Norman Geisler memberikan penguraian terhadap tinjauan pornografi yang dilihat dari Alkitab sebagai dasar iman Kristen.  Dia menyebutkan bahwa pornografi itu menggambarkan hubungan seks sebagai sebuah perilaku yang penuh dosa (Ibr. 13:4;  Ef. 5:3-6), pornografi tidak lagi menghormati pernikahan (Rm. 1:32), pornografi membawa tindakan yang penuh dosa ke dalam kehidupan orang percaya (1Ptr. 5:8-9;  Gal. 5:19-21;  1Kor. 6:18;  1Kor 6:15; Ibr. 11:25), pornografi memperkuat nafsu birahi dan perzinahan dalam hati seseorang (Mat. 5:27-30;  Mat. 15:17-19;  Rm. 13:14), pornografi merusak hati dan pikiran (1Kor. 5:5-6), pornografi membutakan hati pikiran orang percaya (Mat. 6:22-23; 7:17-20; Yak. 3:11-12;  Ef. 5:3-5), pornografi melemahkan pernikahan yang utuh (Kej. 2:22-25;  Ibr. 13:4).

PENGERTIAN PENYALAHGUNAAN INFORMASI[24]
Definisi penyalahgunaan informasi di dalam internet bermacam-macam.  Kebanyakan orang menyebutnya dengan fraudFraud mempunyai pengertian sebagai berikut, “wrongful or criminal deception intended to result in financial or personal gain.[25]  Dengan kata lain, informasi yang digunakan salah atau informasi yang digunakan benar namun dengan maksud memperoleh keuntungan ekonomi maupun keuntungan pribadi merupakan penyalahgunaan informasi.  
Lain halnya dengan Federal Trade Commission Amerika.[26]  Mereka memberi nama penyalahgunaan informasi ini dengan nama identity theft, yang didefinisikan sebagai “someone uses your personally identifying information, like your name, Social Security number, or credit card number, without your permission, to commit fraud or other crimes.[27]  Seseorang yang menggunakan informasi dari seseorang lain tanpa izin orang yang bersangkutan sudah dikatakan terlibat dalam penyalahgunaan informasi.
Wikipedia juga memberikan definisinya sendiri, memakai term kata yang persis sama dengan FTC Amerika yaitu dengan identity theft, yang mempunyai definisi sebagai berikut, “a form of fraud in which someone pretends to be someone else by assuming that person's identity, typically in order to access resources or obtain credit and other benefits in that person's name.[28]  Suatu bentuk penipuan di mana seseorang berpura-pura untuk menjadi orang lain yang mana data orang lain tersebut digunakan untuk mengakses suatu sumber tertentu atau menggunakan kartu kredit atau keuntungan atas nama orang lain tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan informasi ini berkaitan dengan penggunaan informasi orang lain untuk kepentingan diri kita sendiri tanpa izin dari orang tersebut.  Informasi ini dapat berupa apapun yang menyangkut diri, alamat, nomor kartu kredit, username dan password, maupun nomor-nomor yang lain.

BENTUK-BENTUK PENYALAHGUNAAN INFORMASI
Penyalahgunaan informasi muncul dari berbagai macam hal.  Menurut survei yang dilakukan oleh Graeme R. Newman dan Megan M. McNally pada Juli 2005 yang mengacu kepada data Lacoste dan Tremblay (2003), keduanya menyimpulkan bahwa setidaknya ada empat model dari penyalahgunaan informasi ini[29]:
Pertama, yaitu dengan menggunakan kelemahan dari teknologi sistem informasi itu sendiri.  Teknik yang dipakai adalah dengan menggunakan kelemahan chip magnetik itu sendiri.  Biasanya alat yang dipakai untuk “menggesek” ditambahkan semacam software buatan untuk mengambil data yang telah dimasukkan.  Karena kartu kredit tidak menggunakan PIN dan hanya mengandalkan verification number atau yang biasa disebut CVC, maka pencurian informasi semacam ini sangat mudah untuk dilakukan.
Kedua, dengan mengadakan penipuan identitas finansial.  Penipuan yang terjadi dengan menggunakan apa yang disebut phishing di mana seseorang dikirimkan suatu e-mail atau sebuah penipuan nama website yang mengatakan bahwa e-mail tersebut resmi dari lembaga keuangan tertentu atau website yang mempunyai nama mirip dengan website yang asli.  Contohnya: menyebarkan e-mail yang meminta informasi dari seseorang, yang seolah-olah e-mail tersebut berasal dari lembaga keuangan yang dimiliki seseorang.  Atau dengan membuat situs website yang sama persis dengan situs aslinya, misalnya www.citi-bank.com, www.citibang.co.id, sehingga ketika informasi dimasukkan di dalam situs tersebut, informasi tersebut dapat disalahgunakan.
Ketiga, memperoleh informasi dari kelalaian manusia.  Mencari kartu kredit yang tercecer atau informasi tagihan di kertas yang dapat terlihat informasinya.  Informasi itu kemudian digunakan kembali untuk kepentingan tertentu tanpa seizin pemiliknya.
Keempat, mendapatkan suatu informasi secara legal, namun digunakan secara tidak bertanggung jawab.  Semacam penggunaan informasi di lingkup social network yang memang memperbolehkan pengguna untuk melihat informasi pengguna lainnya, namun seharusnya tidak digunakan untuk kepentingan yang “miring.”

DAMPAK-DAMPAK PENYALAHGUNAAN INFORMASI[30]
Penyalahgunaan informasi memiliki berbagai macam dampak sosial, banyak di antaranya sangat merugikan orang lain.  Berbagai macam dampak yang terjadi beragam, mulai kerugian material maupun kerugian nama baik, dan sebagainya.  FTC Amerika setidaknya memberikan 5 macam kerugian yang bisa terjadi yang meliputi berbagai sektor:
Pertama, kerugian yang diderita secara material lewat penipuan kartu kredit (credit card fraud).  Kartu kredit yang tiba-tiba saja berisi banyak tagihan di dalamnya atau penggantian alamat kartu kredit sampai beberapa waktu tertentu sampai seseorang menyadarinya.
Kedua, kerugian atas biaya penggunaan layanan tertentu.  Penipuan yang terjadi bisa melibatkan proses aplikasi beberapa utilitas, seperti aplikasi kartu kredit menggunakan nama orang lain, aplikasi pembukaan jaringan internet, dan sebagainya.
Ketiga, kerugian nama baik.[31]  Informasi orang lain bisa digunakan untuk menyerang orang lain sehingga nama orang tersebut menjadi buruk, atau dengan sengaja menjelek-jelekkan orang yang informasinya didapatkan tersebut.
Keempat, kehilangan privasi.[32]  Dengan terkoneksinya internet, informasi pribadi menjadi luas tersebar.  Pelanggaran traffic light yang terekam pada kamera pengintai bisa diakses lewat internet, sehingga dari plat mobil pun, seseorang bisa diketahui identitasnya.
Kelima, kehilangan proteksi yang seharusnya diterimanya.[33]  Informasi yang tidak jelas akan menghapus seseorang dalam hak-hak proteksinya oleh negara ataupun lembaga.  Pengubahan informasi atau double entry dalam suatu data akan menghanguskan proteksi-proteksi yang sebenarnya bisa dimiliki seseorang.

TINJAUAN KEKRISTENAN DALAM PENYALAHGUNAAN INFORMASI
Jelas sekali kekristenan menentang hal ini.  Etika Kristen memandang hal ini sebagai suatu dosa, suatu tindakan yang dilakukan yang berlawanan dengan perintah Tuhan.
Dalam Keluaran 20:16[34], Tuhan memerintahkan setiap orang untuk tidak mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.  Hal ini berparalel dengan Ulangan 5:20 yang sama mengatakan hal yang demikian.  Konteks Alkitab mengatakan bahwa tidak sekedar hanya mengucapkan saksi dusta di mulut saja, melainkan mempunyai arti untuk melindungi seseorang dari ancaman penggunaan informasi yang salah, yang dapat memberikan kerugian dari orang tersebut, membahayakan sesama akibat informasi yang salah.[35]  Bahkan menurut eksegesis yang dikatakan oleh Rabi Andrè Chouraqui, perintah itu mempunyai arti “You shall not defraud your neighbor.[36]”  Terdapat larangan untuk menyalahgunakan informasi seseorang.
Dengan demikian, penyalahgunaan informasi termasuk di dalam pelanggaran hukum Taurat.  Kebohongan bertentangan dengan kebenaran, sehingga kebohongan itu melawan Allah.  Tidak ada alasan untuk melakukan hal ini dengan perkecualian apapun.[37]
Dengan berkembangnya informasi yang begitu deras melalui internet, maka informasi menjadi semakin ambigu.  Berita-berita yang disebarkan kadang-kadang tidak benar.  Terkadang juga menyerang sesama dan parahnya, hal ini menjadi sudah biasa dan dianggap tidak apa-apa.  Tetapi kekristenan menentang hal-hal ini dan perintah Tuhan menuntut untuk setia menyuarakan kebenaran setiap saat.  Suatu “kesaksian[38]” adalah kesaksian mengenai sesuatu dalam diri seseorang (integritas diri), lebih dari suatu kesaksian itu sendiri yanf sekedar kata-kata.  Hal ini melibatkan diri seseorang secara penuh, tidak sekedar perkataan.  Suatu “kesaksian” melibatkan hal yang komprehensif dalam diri.[39]  Kesaksian harus digunakan dengan benar, tidak hanya dengan motif yang benar, melainkan juga cara yang benar.

KESIMPULAN
Di dunia yang serba instan dan tidak bisa dilepaskan dari internet ini, kejahatan semakin merajalela dengan buas, terutama godaan pornografi dan penyalahgunaan informasi.  Etika semakin dipengaruhi oleh godaan-godaan ini dan menjadi terdistorsi.  Di sinilah pentingnya suatu etika yang tidak berubah, etika yang sesuai dengan standar kebenaran, yaitu etika Kristen, yang mampu menjawab semua tantangan tersebut.
Etika Kristen meninjau semua tantangan tersebut dan menemukan bahwa pornografi dan penyalahgunaan informasi adalah suatu dosa yang harus dihindari oleh semua masyarakat Kristen.  Firman Tuhan dengan jelas-jelas menentang segala macam bentuk pornografi dan penggunaan data secara sembarangan.  Hal ini bertentangan dengan apa yang diperintahkan Tuhan.  Melakukan semua hal tersebut berarti melawan dan memberontak terhadap Tuhan.  Tuhan telah menciptakan manusia segambar dan serupa dengan-Nya sehingga pornografi merusak esensi dalam diri manusia tersebut yang melanggar perintah Tuhan pada hukum yang ketujuh.  Sedangkan penyalahgunaan informasi bertentangan dengan perintah Tuhan kesembilan yang hakikatnya adalah untuk melindungi orang lain dari ancaman informasi yang tidak bertanggung jawab.
Pada akhirnya, kekristenan memiliki tanggung jawab penuh untuk menyuarakan kebenaran demi kebenaran itu sendiri serta menjadi garam dan terang bagi dunia, memancarkan etika yang baik dan bertanggung javab.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

BUKU:
________.  Kamus Besar Bahasa Indonesia.  Jakarta: Balai Pustaja, 1999.
Braaten, Carl E.  “Sins of the Tongue,” dalam I Am the Lord Your God: Christian Reflections on the Ten Commandments.  Ed.  Carl E. Braaten & Christopher R. Seitz.  Grand Rapids: Eerdmans, 2005.
Dixon, Patrick.  Cyber Church: Christianity and the Internet.  Lottbridge Drove: Kingsway, 1997.
Frame, John M.  The Doctrine of Christian Life.  Phillipsburg: Presbyterian and Reformed, 2008.
Geisler, Norman.  Christian Ethics: Contemporary Issues and Options.  Grand Rapids: Baker, 2010.
Gill, David W.  Doing Right: Practicing Ethical Principles.   Downers Grove: InterVarsity, 2004.
Henry, Carl F.  Baker’s Dictionary of Christian Ethics.  Virginia: Canon Press, 1973.
Soanes, Catherine & Angus Stevenson.  “Fraud,” dalam Concise Oxford English Dictionary 11th   ed.  Oxford: Oxford University Press, 2004.
Webster, Noah.  Webster’s New Twentieth Century Dictionary.  Webster: Collins World, 1977.
Willingham, Russel.  Breaking Free.  Downers Grove: InterVarsity, 1999.

JURNAL:
Ade Armando, “Apakah pornografi mendasari kekerasan.”  Jurnal Perempuan Volume 26 (2002) 76-86.
Graeme R. Newman & Megan M. McNally, “Identity Theft Literature Review.” U.S. Department of Justice 210459 (2005) 4-6.

SKRIPSI:
King, Monica.  Konsep Bebas dari Dosa menurut Paulus berdasarkan Roma 6:1-14 dan Aplikasinya dalam Pelayanan Pastoral bagi Orang Kristen yang Kecanduan Pornografi.  Malang: SAAT, 2007.


INTERNET:
___________.  “Pornography,” http://www.freedomsex.org/pornography.htm
Federal Trade Commision.  “Fighting Back Against Identity Theft: Deter. Detect. Defend,” http://www.ftc.gov/bcp/edu/microsites/idtheft/consumers/about-identity-theft.html.
Internet World Stats.  “World Internet User & Population Stats,” http://internetworldstats.com/ stats.htm.
Laaser, Mark.  “The Damaging Effects of Internet Pornography,” http://www.faithfulandtrue ministries.com/a_congtest.php.
Mazalisa, Zanial.  “Pornografi di Internet,” http://nayel.multiply.com/journal/item/19/Pornografi _di_ Internet_.
SMP Negeri 1 Cipanas Lebak.  “Penyalahgunaan Internet,” http://greenchool.blogspot.com/ 2009/10/penyalahgunaan-internet.html.
Suryadhi, Ardhi.  “Pengguna Internet Indonesia Capai 45 Juta,” http://www.detikinet.com/ read/2010/06/09/121652/1374756/398/pengguna-internet-indonesia-capai-45-juta/?i9911 01105.
Telkom Speedy.  “Trend Keamanan Internet Indonesia 2010,” http://opensource.telkomspeedy. com/wiki/ index.php/Trend_Keamanan_Internet_Indonesia_2010.
Wahono, Romi Satria.  “US Adult Internet User Demographics-Age,” http://romisatriawahono .net/wp-content/uploads/2008/04/usadultinternetuser.gif.
__________________.  “Top Worldwide Search Request,” http://romisatriawahono.net/wp-content/uploads/2008/04/search-porn.gif.
___________________.  “Kupas Tuntas Pornografi di Internet,” http://agungcyber.blog spot.com/2008/04/indonesia-rangking-7-kupas-tuntas.html.
Wikipedia.  “Identity Theft,” http://en.wikipedia.org/wiki/Identity_Theft#cite_note-10.


[1]Internet World Stats, “World Internet User & Population Stats,” http://internetworldstats.com/stats.htm.
[2]Ardhi Suryadhi, “Pengguna Internet Indonesia Capai 45 Juta,” http://www.detikinet.com/read/2010/ 06/09/121652/1374756/398/pengguna-internet-indonesia-capai-45-juta/?i991101105.
[3]Romi Satria Wahono, “US Adult Internet User Demographics-Age,” http://romisatriawahono.net/wp-content/uploads/2008/04/usadultinternetuser.gif.
[4]Romi Satria Wahono, “Top Worldwide Search Request,” http://romisatriawahono.net/wp-content/uploads/ 2008/04/search-porn.gif.
[5]Romi, “US Adult.”
[6]SMP Negeri 1 Cipanas Lebak, “Penyalahgunaan Internet,” http://greenchool.blogspot.com/2009/10/ penyalahgunaan-internet.html.
[7]Kasus ini disebut phishing.  Phishing berasal dari kata fishing alias memancing.  Para pelaku (phishers) berusaha memancing atau memperoleh data-data pribadi orang lain dengan menggunakan e-mail dan situs-situs tertentu sebagai umpan.  Data statistik dari seorang analis teknologi informasi yang bernama Gartner menyebutkan bahwa terdapat 3,6 juta orang kehilangan uang pada tahun 2007 akibat penipuan phishing ini.  Bdk. dengan http://rizky-yogh4.blogspot.com/2009/01/kasus-pencurian-data.html.

[8]Telkom Speedy, “Trend Keamanan Internet Indonesia 2010,” http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/ index.php/Trend_Keamanan_Internet_Indonesia_2010.
                [9]Romi Satria Wahono, “Kupas Tuntas Pornografi di Internet,” http://agungcyber.blogspot.com/2008/ 04/indonesia-rangking-7-kupas-tuntas.html.
                [10]t.n., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999) 782.
                [11]Noah Webster, Webster’s New Twentieth Century Dictionary (Webster: Collins World, 1977) 1403.
[12]Zanial Mazalisa, “Pornografi di Internet,” http://nayel.multiply.com/journal/item/19/Pornografi_di_ Internet_.
                [13]Ade Armando, “Apakah pornografi mendasari kekerasan” dalam Jurnal Perempuan Volume 26 (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2002) 80.
                [14]Ibid.  81.
                [15]Mark Laaser, “The Damaging Effects of Internet Pornography,” http://www.faithfulandtrue ministries.com/a_congtest.php.
                [16]Russel Willingham, Breaking Free (Downers Grove: Intervarsity, 1999) 56.
                [17]t.n., “Pornography” http://www.freedomsex.org/pornography.htm.
[18]Kata “distorsi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti pemutarbalikan suatu fakta, aturan, dsb.  Jadi, dalam kasus ini distorsi memiliki arti sebagai penyimpangan terhadap suatu kebenaran atau mungkin yang lebih tepatnya adalah terjadinya kesalahpahaman dalam menerima informasi.
                [19] Dari H. Amidhan sebagaimana dikutip oleh Monica King dalam skripsinya pada hal. 6.
[20]Disarikan dari Norman Geisler, Christian Ethics: Contemporary Issues and Options halaman 382-386.
                [21]Willingham, Breaking Free 56.  Seperti yang dikutip oleh Monica King dalam skripsinya yang berjudul Konsep Bebas dari Dosa menurut Paulus berdasarkan Roma 6:1-14 dan Aplikasinya dalam Pelayanan Pastoral bagi Orang Kristen yang Kecanduan Pornografi (Malang: SAAT, 2007) 124.
                [22]Monica King, Konsep Bebas dari Dosa menurut Paulus berdasarkan Roma 6:1-14 dan Aplikasinya dalam Pelayanan Pastoral bagi Orang Kristen yang Kecanduan Pornografi (Malang: SAAT, 2007) 124.
                [23]Ibid.
[24]Disarikan dari berbagai macam sumber.
[25]Catherine Soanes & Angus Stevenson, “Fraud,” dalam Concise Oxford English Dictionary 11th ed. (Oxford: Oxford University Press, 2004).
[26]Lembaga semacam KADIN di Indonesia.
[27]Federal Trade Commision, “Fighting Back Against Identity Theft: Deter. Detect. Defend,” http://www.ftc.gov/bcp/edu/microsites/idtheft/consumers/about-identity-theft.html. 
[28]Wikipedia, “Identity Theft,” http://en.wikipedia.org/wiki/Identity_Theft#cite_note-10.
[29]Graeme R. Newman and Megan M. McNally, “Identity Theft Literature Review” U.S. Department of Justice 210459 (2005) 4-6.  Bdk. dengan metode yang dikemukakan oleh FTC dalam http://www.ftc.gov/bcp/edu/microsites/idtheft/consumers/about-identity-theft.html.
[30]Disarikan dari http://www.ftc.gov/bcp/edu/microsites/idtheft/consumers/about-identity-theft.html.
[31]Patrick Dixon, Cyber Church: Christianity and the Internet (Lottbridge Drove: Kingsway, 1997) 117.
[32]Ibid.  118.
[33]Federal Trade Commission, “Fighting Back.”
[34]Ayat-ayat Alkitab diambil dari Alkitab TB-LAI 1974.
[35]David W. Gill, Doing Right: Practicing Ethical Principles (Downers Grove: InterVarsity Press, 2004) 282.
[36]Ibid.  283.
[37]Carl E. Braaten, “Sins of the Tongue,” dalam I Am the Lord Your God: Christian Reflections on the Ten Commandments (ed. Carl E. Braaten and Christopher R. Seitz; Grand Rapids: Eerdmans, 2005) 214.
[38]Perkataan, atau dalam hal ini comment yang diberikan di Internet maupun statement.
[39]John M. Frame, The Doctrine of Christian Life (Phillipsburg: Presbyterian and Reformed, 2008) 398.

No comments:

Post a Comment