PORNOGRAFI pada GENERASI MUDA!!! Mental Silent Killer!!!!
PENDAHULUAN
Kehidupan pemuda remaja sungguh sangatlah unik. Di
masa-masa ini gairah seorang pemuda remaja bangkit dengan begitu pesatnya,
terutama dalam hal seksualitas.
Seksualitas yang bertumbuh ini mengalami masa peralihan dari anak-anak
menjadi beranjak dewasa. Di saat-saat
inilah seorang remaja pemuda rentan sekali dengan masalah yang bernama
pornografi. Saat mereka mencoba
menelusuri seksualitas mereka karena penasaran, seringkali mereka menemukannya
secara salah dan malah terjerumus di dalam pornografi.[1]
Sebut saja Amir, remaja yang berusia 15 tahun. Dalam usianya yang masih muda belia ini, Amir
telah menonton film porno yang seharusnya tidak ditontonnya. Amir menonton karena terpengaruh oleh
pergaulan teman-teman yang lain dan rasa penasarannya. Celakanya, Amir adalah seorang remaja Kristen
yang juga melayani sebagai pengurus remaja.
Contoh lain lagi yang lebih mengejutkan misalnya seorang yang bernama
Ted Bundy di Amerika. Ted ini melakukan
pemerkosaan dan pembunuhan terhadap korban-korbannya akibat kecanduan
pornografi, padahal Ted dibesarkan di dalam lingkungan keluarga Kristen. Hal semacam ini banyak ditemukan pada
fenomena pelayanan pemuda remaja di gereja-gereja. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa salah satu
permasalahan utama yang menjadi tantangan pelayanan pemuda remaja adalah
masalah pornografi.[2]
Survei di Amerika yang dilakukan oleh Christianity Today pada bulan Maret 2005
menyebutkan bahwa 57% para hamba Tuhan menyebutkan bahwa masalah yang paling
merusak gereja adalah masalah pornografi dan makin bertambah tiap tahunnya.[3] Tantangan pelayanan ini semakin berat ketika
kemajuan teknologi ikut mendukung tersebarnya pornografi. Akses yang mudah dari internet, telepon
seluler, maupun CD atau DVD yang berisi materi-materi pornografi yang dijual
bebas semakin mempersulit pelayanan ini.
Ditambah lagi, gereja yang seharusnya membicarakan masalah ini tampaknya
masih enggan karena budaya Timur masih menganggap pembahasan tentang pornografi
adalah hal yang tabu.
Tulisan ini akan
mencoba memaparkan bagaimana pornografi telah menggerogoti kehidupan pemuda
remaja Kristen – secara khusus masalah-masalah yang muncul dan penanganannya. Fokus dari tulisan ini sendiri adalah untuk
menjelaskan bagaimana masalah-masalah yang timbul akibat pornografi,
bentuk-bentuk pornografi yang ada, dan cara penanganan maupun pencegahan
terhadap pornografi yang terjadi di kehidupan pemuda remaja Kristen. Hal-hal di atas akan dijelaskan secara menyeluruh
dalam tulisan ini, dimana hal ini dimaksudkan agar pembaca dapat mengerti
secara jelas bagaimana masalah yang terjadi dan bagaimana seharusnya pelayanan pemuda
remaja Kristen dalam mengatasi masalah ini.
PEMUDA REMAJA KRISTEN DAN MASALAH PORNOGRAFI
Pemuda
remaja adalah sekelompok masyarakat yang dinamis dan bertumbuh, yang tidak
hanya berkembang secara fisik namun juga berkembang secara rohani. Ketika mereka mengalami perubahan fisik,
mentalnya pun berkembang dan mempertanyakan perubahan fisiknya, termasuk
permasalahan tentang seks. Kecenderungan
inilah yang memunculkan sekelumit masalah dalam diri seorang pemuda remaja. Hal ini didasarkan pada rasa ingin tahu
seorang pemuda remaja tentang seks yang sangat besar, terutama ketika memasuki
masa pubertas.[4] Menurut Santrock, pubertas adalah sebuah
periode kematangan fisik yang berlangsung cepat yang meliputi hormonal dan
perubahan tubuh yang selalu terjadi dalam masa awal memasuki dunia pemuda remaja.[5] Dapat dikatakan bahwa masa pubertas adalah
tanda perpindahan dari periode anak-anak menuju periode remaja.
Dalam
pencarian yang disebabkan perkembangan fisik oleh karena pubertas inilah
seringkali pemuda remaja Kristen mencoba untuk menemukan seks, entahkah mereka
menemukannya sendiri lewat berbagai media atau menemukannya bersama-sama dengan
kelompok mereka. Sayangnya, kebanyakan dari mereka menemukannya salah dan
berujung pada masalah pornografi. Istilah
pornografi sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai
penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk
membangkitkan nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata
dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.[6] Sementara itu, kamus bahasa Inggris Webster’s New Twentieth Century Dictionary
menguraikan kata pornografi dari bahasa aslinya (Yunani), yaitu porne yang artinya prostitute dan graphein yang
artinya to write, dan kata ini
didefinisikan sebagai berikut: [7]
Originally,
a description of prostitute and their trade; writings, picture, etc. intended
to arouse sexual desire; the production of such writings, pictures, etc.
Jadi, dari uraian di atas dapat
dikatakan bahwa pornografi adalah tulisan atau gambar yang dimaksudkan untuk
membangkitkan nafsu seksual orang yang melihat atau membacanya. Namun, kemudian hal ini berkembang bukan hanya
dalam bentuk tulisan dan gambar tetapi juga melalui berbagai media lain seperti
film, tarian, lagu dan lain sebagainya.
Masalah
yang muncul adalah bagaimana seorang pemuda remaja yang mencari sendiri seks
ataupun mencarinya bersama teman-temannya dapat terjerumus pornografi? Terdapat dua faktor utama yang besar, yaitu
faktor eksternal dan faktor internal.
Namun dari kedua faktor ini, faktor internal-lah yang mempunyai dampak
lebih besar.[8]
Faktor internal yang
dikemukakan oleh Welch memberikan garis besar mengapa pemuda remaja terjerumus
ke dalam pornografi, Welch membaginya dalam 5 bagian:[9] Pertama, disebabkan oleh faktor kelengahan
atau ketidakpedulian. Di sini pemuda
remaja digambarkan acuh tak acuh terhadap pornografi, pornografi dianggap bukan
sebagai ancaman sehingga mulai dicoba-coba, pemuda remaja mulai bereksperimen
sampai akhirnya jatuh ke dalamnya. Di
lain pihak, Steve juga menyebutkan bahwa apa yang semakin dilarang dan
dihindari seringkali membuat pemuda remaja penasaran dan hal itulah yang akan
dilakukan. Kedua, disebabkan oleh faktor persahabatan. Pemuda remaja biasanya hidup berkelompok dan
sangat menghargai lingkungan sosialnya (dalam hal ini teman-teman sebayanya)
sehingga penolakan dari komunitasnya bernaung sangat dihindari. Oleh karena itu, pemuda remaja sering jatuh
ke dalam pornografi ini apabila komunitasnya juga terjerumus ke dalam
pornografi. Ketiga, disebabkan oleh faktor tergila-gila pada orang lain. Seringkali pemuda remaja yang tergila-gila
pada seseorang tertentu tetapi tidak dapat meraihnya akan mengalihkan
perasaannya tersebut pada pornografi.
Bahkan ada pandangan yang menyatakan lebih baik terlibat pornografi dan
masturbasi yang relatif tidak menyebabkan apa-apa daripada terlibat prostitusi
akibat tergila-gila pada seseorang.[10] Keempat,
disebabkan oleh faktor cinta dan pengkhianatan.
Faktor inilah yang sering dijadikan dalih oleh pemuda remaja. Mereka mengatakan karena cinta kepada
seseorang dan sebagai wujud untuk mengasihinya adalah dengan menahan hawa nafsu
mereka untuk melakukan seks, yang berakibat pada kejatuhan di dalam
pornografi. Selain itu, pengkhianatan
cinta juga dijadikan dalih untuk terjebak dalam pornografi. Karena cintanya ditolak, lebih baik mencintai
seseorang yang berada dalam dunia maya. Kelima, disebabkan oleh faktor kecanduan. Seseorang yang sudah terjerumus ke dalam
pornografi yang begitu lama akan dipuaskan secara sementara, mengakibatkan
pemenuhan kepuasan tersebut harus dilakukan secara berkala. Atau dengan kata lain tidak dapat
melepaskannya karena sudah kecanduan pornografi.
Sedangkan untuk faktor
eksternal, Powlison mengemukakan hal ini dengan sangat baik. Ia memberikan 3 faktor yang utama.[11] Pertama,
motif balas dendam yang disebabkan oleh kepahitan keluarga atau
masyarakat. Seorang pemuda remaja yang
mengalami kepahitan masa kecil atau mengalami pelecehan seksual akan mudah
terjerumus dalam pornografi. Kedua, faktor ingin diterima atau
disayangi oleh komunitas sekitar.
Bayangkan saja, seorang pemuda atau remaja putri yang badannya tidak
proporsional merasa ditolak oleh komunitasnya dan mendapatkan penerimaan ketika
masuk di dalam pornografi. Ketiga, faktor ekonomi. Sebagian dari pemuda remaja yang terjerumus
dalam pornografi diakibatkan karena uang.
Demi mendapatkan uang mereka rela dijadikan objek pornografi itu
sendiri, baik melalui telepon, gambar, atau pelaku adegan seks.
Selain faktor-faktor di
atas, tidak boleh dilupakan pula bahwa pornografi menyebar dengan cepat dalam
kehidupan pemuda remaja Kristen karena akses ke dalam hal ini yang begitu
mudah. Kemajuan teknologi yang begitu
pesat, seperti internet, akses nirkabel jaringan, telepon seluler dengan bluetooth-nya menjadi pusat penyebaran pornografi. VCD dan DVD film biru yang mudah didapat, dan
dapat ditonton pada notebook pribadi
yang tidak diketahui orang lain juga mendukung penyebaran pornografi ini.[12]
BENTUK-BENTUK PORNOGRAFI
Terdapat
banyak bentuk pornografi yang ada. Dua
bentuk yang paling umum adalah soft-core
dan hard-core.[13] Soft-core
adalah pornografi yang menggambarkan wanita atau pria telanjang yang
menunjukkan bagian intim, namun tidak menunjukkan hubungan seksual. Sedangkan hard-core adalah pornografi yang
menunjukkan hubungan seksual, baik dipaksa atau tidak dipaksa antara dua orang
atau lebih.[14]
Menariknya, pornografi
dalam berbagai definisinya seperti yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya,
ternyata mengalami degradasi definisi pada pikiran pemuda remaja sekarang. Sebagai contoh, film-film yang mengandung
muatan seksual (baik itu gambar dalam film tersebut atau adegan nudity) pada film-film yang bukan jenis
film XXX ternyata tidak dianggap sebagai pornografi oleh kebanyakan pemuda
sekarang. Mereka seolah menganggapnya
sebagai bagian yang biasa dalam sebuah film.[15] Jadi, yang dianggap pornografi adalah apabila
ada suatu adegan yang menampilkan hubungan seksual atau film yang jelas-jelas
ber-genre XXX.
Pornografi mempunyai
berbagai macam bentuk media. Media yang
umum biasanya berupa media bergambar yang diwakili oleh majalah-majalah
porno. Namun seiring berkembangnya
zaman, pornografi tidak hanya sebatas gambar, namun juga video dan suara, yang diwakili
dengan film (biasanya diberi rating XXX) atau telepon dengan saluran khusus
yang menampilkan suara-suara seseorang yang sepertinya melakukan hubungan seks. Selain itu juga ada novel, cybersex, serta pertunjukan langsung. Dari berbagai media dapat dikatakan pornografi
tidak hanya disajikan dalam media audio visual, namun juga media tulis. Yang penting adalah merangsang gairah seksual
para pemuda remaja.[16]
DAMPAK PORNOGRAFI PADA PEMUDA REMAJA
KRISTEN
Pornografi memberikan
dampak yang buruk pada setiap pemuda remaja Kristen. Dampak-dampak ini semakin hari akan semakin
menjerumuskan pemuda remaja Kristen menuju degradasi moral yang paling bawah. Dampak yang biasanya langsung dirasakan
adalah jatuhnya pemuda remaja Kristen
menuju kecanduan pornografi. Seorang
pemuda remaja Kristen akan merasa kekurangan sesuatu apabila tidak melakukan
hal-hal yang berhubungan dengan pornografi.
Setelah hal ini berlangsung terus menerus, maka kecanduan pornografi
akan menjadi keterikatan terhadapnya.[17] Dampak dari kecanduan yang berujung dari
keterikatan ini adalah stimulasi kenikmatan seksual yang dialami sendiri atau
yang lazim disebut masturbasi. Survei
terhadap pemuda remaja di Amerika menyebutkan bahwa 2/3
laki-laki melakukannya dan ½ dari perempuan melakukannya.[18] Masturbasi ini akan membawa keterikatan yang
lebih lagi pada pornografi, memandang pornografi seolah-olah hal yang biasa,
memandang perempuan sebagai objek seks, dan pada akhirnya kekerasan seksual
yang rawan terjadi apabila pemuda remaja memiliki seorang pasangan hidup. Semakin hari membawa kepada perilaku yang
menyimpang.[19]
Pemuda remaja Kristen
yang sudah masuk dalam tahap yang lebih jauh karena pornografi juga tidak akan
takut berhubungan seksual dengan pasangannya, menghabiskan waktunya menikmati
pornografi, dan menghabiskan uangnya untuk membeli atau menyewa materi-materi
pornografi. Akibatnya beragam, bisa
kehamilan di luar nikah, penyakit menular seksual (PMS), dan rasa ketidakpuasan
yang berlebihan. Dampak-dampak ini
berlanjut terus sampai dewasa, dan apabila tidak dipulihkan, sampai menikah pun
masalah ini akan sangat mengganggu.[20]
Bagi pemuda remaja
Kristen, dampaknya akan langsung terasa kepada hilangnya norma-norma moral
dalam keluarga, suka melawan, dan ada orang-orang tertentu yang sangat rohani,
melayani di gereja untuk menutupi bahkan sampai mengalihkan perhatian agar
ketertarikannya kepada pornografi tidak diketahui oleh siapapun.[21]
PENANGANAN TERHADAP PEMUDA REMAJA
KRISTEN YANG TERLIBAT PORNOGRAFI SECARA IMAN KRISTEN
Pornografi jelas-jelas
merupakan suatu dosa. Di dalam Alkitab telah sangat jelas
dituliskan mengenai hal ini. Dalam
Matius 5:28 disebutkan bahwa jika seseorang laki-laki memandang seorang wanita
dan menginginkannya, maka laki-laki itu dapat dikatakan sudah melakukan sebuah
perzinahan di dalam pikirannya.
Sementara itu, King menyebutkan bahwa pornografi itu merupakan suatu hal di
mana manusia telah menggantikan kemuliaan Allah dengan gambaran manusia dan
hewan. Pernyataan ini sesuai dengan apa
yang dituliskan oleh rasul Paulus dalam Roma 1:23, 25.[22]
King memberikan penambahan bahwa melalui tiga kata yang digunakan oleh
rasul Paulus dalam menuliskan surat-suratnya yang memberi arti sebagai dosa
seksual, yaitu aselgeia, epitimo, dan
porneia itu menggambarkan dosa
seksual yang dengan jelas terlihat dalam pornografi. Berangkat dari setiap pengertian ketiga kata
itu pornografi adalah sebuah gaya hidup yang tidak bermoral, dorongan
untuk mencari kepuasan, dan hawa nafsu.[23] Bagi Paulus, dosa seksual itu merupakan
sebuah dosa yang sangat serius. Ini
terlihat dalam Efesus 5:5, “Karena ingatlah ini
baik-baik: tidak ada orang sundal,
orang cemar atau orang serakah, artinya penyembah berhala, yang mendapat bagian
di dalam Kerajaan Kristus dan Allah.”
Kata “orang sundal” yang dipakai oleh Paulus adalah pornos yang akar katanya adalah porneia. Jadi, orang-orang sundal itu tidak akan
mendapat bagian dalam Kerajaan Kristus.[24] Secara implisit, ayat-ayat di atas dan penjelasannya juga
mengarah kepada dilarangnya perbuatan memuaskan nafsu seks secara pribadi,
semisal masturbasi. Masturbasi membuat
seseorang menjadi ilah atas diri mereka sendiri.[25]
Gereja
secara khusus dalam pelayanan pemuda remaja harus dapat menyadarkan anggotanya
bahwa pornografi dan masturbasi adalah suatu dosa, lebih lagi gereja harus
mampu melepaskan, melindungi pemuda remajanya dari serangan berbahaya ini. Apa yang dapat gereja lakukan? Pertama,
gereja harus dapat menerima kenyataan bahwa banyak anak-anak pemuda remajanya
terlibat dalam hal ini. Gereja harus
berkonfrontasi mereka dengan kasih dan penerimaan akan hal ini, menyadarkan
mereka dengan firman Tuhan, memberikan mereka pengertian yang benar bagaimana
pornografi akan merusak hidup mereka.[26] Kedua,
gereja tidak hanya memberikan penerimaan dan pengertian saja, tetapi membentuk
kelompok kecil di mana di dalamnya terdapat anak-anak pemuda remaja dengan
masalah yang sama dibimbing oleh pemuda remaja yang lebih senior yang sudah
bisa melepaskan dirinya dari pornografi.
Di dalam kelompok ini mereka bisa saling sharing, saling menguatkan, dan menyalurkan hasrat seksualnya di
dalam hal lain, semisal makan bersama, menyalurkan berkat untuk anak-anak yang
tidak mampu, dan sebagainya.[27] Ketiga,
memberikan pengarahan kepada orang tua untuk memperhatikan anak-anak agar
mendapat kasih dan perhatian yang cukup serta orang tua bisa memberikan
pendidikan seks yang baik. Gereja dapat
memfasilitasi untuk memberikan pendidikan seks untuk pemuda remajanya dan orang
tua. Hal ini juga berarti gereja dapat
memfasilitasi adanya konseling untuk mereka yang kecanduan. [28] Keempat,
gereja dapat mengadakan persekutuan yang baik dengan anak-anak pemuda
remajanya. Hal ini dimaksudkan agar
pemuda remaja mempunyai hubungan yang akrab, erat, sehingga mereka tidak jatuh
kepada pergaulan yang salah.[29] Kelima,
gereja harus memonitor kelompok-kelompok kecil atau pemuda remajanya secara
berkala. Godaan pornografi ada di mana,
mulai iklan, film, dan model-model pakaian yang banyak dipakai anak-anak muda
sekarang ini. Dunia menawarkan
pornografi dengan begitu mudahnya, sehingga pengawasan ini begitu penting. Ini bukan berarti memata-matai pemuda remaja,
namun bagaimana gereja memperhatikan kekudusan hidup mereka dan memberikan
pertolongan yang dibutuhkan.[30] Keenam,
gereja dapat membentuk tim doa yang baik untuk mendoakan pemuda remaja agar
tidak terjerumus ke dalam dunia pornografi dan pemulihan bagi mereka yang sudah
terlanjur jatuh. Karena peperangan ini
adalah peperangan rohani di mana Tuhan sendiri yang berperang melawan kuasa
kedagingan. Doa sangat membantu
menguatkan hati orang percaya.[31] Keenam cara diatas bisa dilakukan dalam
berbagai bentuk, dan hal ini tidak membatasi gereja memakai cara-cara yang
lainnya.
KESIMPULAN
Di dunia yang semakin rusak ini,
pornografi sangat merenggut kehidupan pemuda remaja. Tidak terkecuali kehidupan pemuda remaja
Kristen. Begitu banyak cobaan, godaan
yang dapat membuat pemuda remaja Kristen jatuh ke dalam pornografi ini. Dimulai dari rasa penasaran terhadap pubertas
yang dicari dengan salah, ataupun pencarian dalam kelompok yang malah
menjerumuskan ke dalam pornografi.
Beragam godaan juga menjadi faktor tersendiri bagi pemuda remaja. Internet yang menyajikan gambar pornografi
yang dapat diakses dengan mudah, video porno yang mudah dibeli, sampai
cerita-cerita panas yang disewakan.
Bahkan iklan pun menjurus ke arah ini.
Dampaknya pun beragam, dan seringkali
mereka yang terlibat di dalamnya jatuh lebih dalam lagi, terperosok kepada
kecanduan ataupun masturbasi. Hal ini
akan merusak mental pemuda remaja sehingga memandang pornografi sebagai hal
yang biasa, padahal kehidupan seperti ini tak ubahnya kehidupan dengan
tingkatan moral binatang. Alkitab juga
mengatakan hal ini sebagai dosa yang patut dihukum.
Oleh karena itu, gereja sebagai tempat
rohani yang membimbing mereka harus melakukan tindakan. Tindakan yang dilakukan dapat berupa tindakan
preventif atau tindakan pemulihan. Cara-cara
yang diajukan gereja harus dilakukan dengan seksama, dan mampu mengubahkan
kehidupan pemuda remaja Kristen kembali ke jalan yang benar.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
BUKU:
________. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1999.
Anderson,
Neil T. Winning The Battle Within: Realistic Steps to Overcoming Sexual
Strongholds. Eugene: Harvest House,
2008.
Arterburn,
Stephen, Fred Stoeker, and Mike Yorkey. Every Young Man’s Battle: Strategies for
Victory in the Real World of Sexual Temptation. Colorado: WaterBrook, 2002.
Court,
J. H. “Pornography,” dalam Baker Encyclopedia of Psychology &
Counseling 2nd Edition. Eds.
David G. Benner and Peter C. Hill. Grand Rapids: Baker, 1999.
Gallagher,
Steve. The Altar of Sexual Idolatry.
Dry Ridge: Pure Life Ministries, 2000.
Meier,
Mindy. Sex and Dating: Questions You Wish You Had Answer To. Downers Grove: InterVarsity, 2007.
Powlison, David.
“Making All Thing s New: Restoring Pure
Joy to the Sexually Broken,” dalam Sex
and the Supremacy of Christ. Eds. John Piper and Justin Taylor. Wheaton: Crossway, 2005.
Santrock, John W. Adolescence 9th ed.
NewYork: McGraw-Hill, 2003.
Webster, Noah.
Webster’s New Twentieth Century
Dictionary. Webster: Collins World,
1977.
Welch, Edward T.
Kecanduan: Sebuah Pesta Dalam
Kubur. Surabaya: Momentum, 2005.
White, John. Menebus Eros? Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2004.
Willingham,
Russel. Breaking Free. Downers
Grove: InterVarsity,
1999.
JURNAL:
Armando, Ade. “Apakah Pornografi
Mendasari Kekerasan.” Jurnal
Perempuan 26
(2002) 76-86.
SKRIPSI:
King,
Monica. Konsep Bebas dari Dosa menurut Paulus berdasarkan Roma
6:1-14 dan Aplikasinya dalam Pelayanan Pastoral bagi Orang Kristen yang
Kecanduan Pornografi.
Malang:
SAAT, 2007.
INTERNET:
__________________.
“Top Worldwide Search Request,” http://romisatriawahono.net/wp-content/uploads/2008/04/search-porn.gif.
(salah ini, masih tak cari alamatnya).
MAJALAH:
Byasee,
Jason. “Not Your Father’s Pornography,” First
Things 01 (2008) 15-18.
[2]John White, Menebus Eros? (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2004) 6-7.
[3]......(internet)
[4]Santrock, Adolescence 76. Pubertas
pada masa ini bisa terjadi antara sekitarb usia 12 tahun ketika memasuki masa
remaja atau 16 tahun ketika memasuki masa pemuda. Hal ini bergantung dengan kondisi lingkungan
dan pribadi masing-masing setiap anak.
[5]Ibid.
[6]t.n., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1999) 782.
[7]Noah Webster, Webster’s New Twentieth Century Dictionary
(Webster: Collins World, 1977) 1403. Hal
ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh J. H. Court, “Pornography,” dalam Baker Encyclopedia of Psychology &
Counseling 2nd Edition (eds. David G. Benner and Peter C. Hill; Grand
Rapids: Baker, 1999) 883-885.
[8]Santrock, Adolescence 349. Bdk. dengan
Ade Armando, “Apakah Pornografi Mendasari Kekerasan?” Jurnal Perempuan 26 (2002) 78-80 yang memberikan data statistik
pornografi pemuda remaja di Indonesia.
[9]Edward T. Welch, Kecanduan: Sebuah Pesta Dalam Kubur
(Surabaya: Momentum, 2005) 79-99. Bdk.
dengan pandangan Steve Gallagher, The
Altar of Sexual Idolatry (Dry Ridge: Pure Life Ministries, 2000) 47-56 yang
meringkaskan masalah pornografi dalam empat faktor.
[10]Jason Byasee, “Not Your Father’s
Pornography,” First Things 01 (2008)
17. (Majalah) – dicek ftnotenya.
[11]David Powlison, “Making All Thing
s New: Restoring Pure Joy to the Sexually Broken,” dalam Sex and the Supremacy of Christ (eds. John Piper and Justin Taylor;
Wheaton: Crossway, 2005) 90-94.
[12]Ade Armando, “Apakah Pornografi”
81-82.
[14]Jeff Olson, Lepas dari Jerat Pornografi (Yogyakarta: Gloria Graffa, 1999) 11-12
seperti yang dikutip dalam Monica King, Konsep
Bebas dari Dosa menurut Paulus berdasarkan Roma 6:1-14 dan Aplikasinya dalam
Pelayanan Pastoral bagi Orang Kristen yang Kecanduan Pornografi (Malang: SAAT, 2007) 92.
[15]Jason Byasee, “Not Your Father”
16.
[16]Monica King, Konsep Bebas 93.
[17]Neil T. Anderson, Winning The Battle Within: Realistic Steps
to Overcoming Sexual Strongholds (Eugene: Harvest House, 2008) 70-71.
[18]Santrock, Adolescence 355.
[19]Ade Armando, “Apakah Pornografi”
88-89.
[20]Santrock, Adolescence 357-365.
[21]Mindy Meier, Sex and Dating: Questions You Wish You Had Answer To (Downers
Grove: InterVarsity, 2007) 49-50.
[25]Mindy Meier, Sex and Dating 54-55.
[26]Edward T. Welch, Kecanduan 105-122.
[27]Stephen Arterburn, Fred Stoeker,
and Mike Yorkey, Every Young Man’s
Battle: Strategies for Victory in the Real World of Sexual Temptation (Colorado:
WaterBrook, 2002) 125-128. Hal ini
senada dengan yang diungkapkan Mindy Meier, Sex
and Dating 56-57 mengenai bagaimana mengalihkan nafsu seksual kepada
kegiatan yang bermanfaat.
[28]Edward T. Welch, Kecanduan 123.
[29]Steve Gallagher, At The Altar 270.
[30]Marian V. Liautaud, “Sex
Offenders in the Pew” Christianity Today
September 2010 51-53.
[31]Neil T. Anderson, Winning 182-186.
No comments:
Post a Comment