Menulis tentang Tulisan
By. Vincent.
Gagasan merupakan penggerak sejarah. Namun,
ia perlu senantiasa dibaca, ditafsirkan, diolah dan digagaskan kembali. Mereka
yang membaca, menafsir, mengolah, dan menggagas kembali tidak lain haruslah
seorang pemikir. Seorang pemikir bukan sekedar pembaca atau penulis, ia adalah
gabungan keduanya ditambah dengan pikiran kritis dan kreatif. Di tengah kondisi
yang morat-marit, tidak cukup sekedar meratapi keadaan bangsa. Ratapan tersebut
akan lebih bermanfaat untuk dituangkan dalam bentuk tulisan yang jernih.
Tulisan tersebut akan menandaskan keberadaan bangsa Indonesia dalam sejarah. Ia
akan mengalirkan derai gagasan segar ke tempat-tempat yang relevan.
SEBUAH TULISAN tentang TULISAN
Lelehan
hitam pekat tersebut bernama tinta. Ia menempel pada sebuah lempengan berbentuk
tertentu untuk menjejak pada bidang tertentu. Jejak tinta hitam tersebut bukan
seperti cipratan kotor di baju yang remeh. Jejak tersebut menapak di sebuah
bidang—kertas, karton, kartu—semata untuk menampilkan hal lain selain dirinya
sendiri. Ia tidak muncul dengan keegoisan. Ia muncul untuk menunjuk kepada hal
lain. Hal lain tersebut ditangkap dan dimaknai oleh pikiran manusia, makhluk
yang notabene menciptakan lempengan tersebut. Itu adalah gagasan. Manusia
menggagas untuk membuat cetakan dan cetakan memberikan gagasan kepada manusia. Dengan
gagasan yang dicetak tersebut berbagai hal mungkin terjadi—revolusi, perang,
damai, sukacita, kesedihan, kedigdayaan, kenistaan. Dengan jejak tinta manusia
menjejak dunia.
Dunia
gagasan memang merupakan dunia yang abstrak. Banyak orang dengan sinis
menyebutnya sebagai semacam menara gading tinggi yang nihil kaitan hidup
sehari-hari. Tuduhan mereka mengandung kebenaran, meskipun parsial. Gagasan
terbaik jelas bukanlah khayal belaka. Gagasan adalah seperti organ-organ tubuh
yang tidak terlalu indah rupanya, namun, tanpanya manusia hanya seonggok daging
yang tak berfungsi. Setiap hal-hal yang kelihatan merupakan kulit yang
digerakkan oleh gagasan-gagasan di dalamnya. Menghapus peran gagasan adalah
seperti menghapus manusia. Manusia tidak dapat bergerak dan hidup tanpa
gagasan. Justru karena itulah manusia merekamnya. Karena itulah perpustakaan
didirikan. Dengan itulah gagasan dan pengetahuan dipelihara.
Tetapi
Indonesia memiliki pemikiran yang amat lain. Nampaknya ia menggagas bahwa
gagasan bukan merupakan hal yang terlalu penting. Pikiran ini terlihat dari
jatuhnya perpustakaan terbesar di Indonesia. Perpustakaan—rekaman gagasan-gagasan
manusia—dibiarkannya luluh lantak tanpa perhatian khusus. Menunjukkan apakah
ini selain kemunduran digdaya bangsa? Hal terpenting tidak lagi menjadi yang
terpenting. Inilah apa yang disebut budayawan sebagai “pemerosotan” bangsa.
Kala demikian budaya dapat dinamai beradab atau biadab.
Sebuah
perpustakaan runtuh, apakah orang yang memiliki hobi membaca sedikit? Saya kira
tidak. Hobi membaca mudah dijumpai dalam situs-situs sosial, dipajang dengan
sedikit kebanggaan bahwa itu adalah bagian dari pribadinya. Kalau begitu apakah
hobi menulis yang sedikit? Melihat banyaknya blog yang bertebaran, saya kira juga tidak. Kalau begitu apakah
masalahnya sebenarnya? Ekonomikah? Tidak juga.
Masalahnya bukan
terletak pada masyarakat yang hobi membaca atau tidak, tetapi pada materi yang
dibacanya. Adalah berbeda untuk menghabiskan waktu membaca tulisan-tulisan yang
tidak berbobot dibanding dengan membaca tulisan-tulisan yang mencerahkan. Bukan
pula pada menulis atau tidak, tetapi pada kualitas tulisannya. Menghasilkan
ratusan halaman bukan jaminan sebuah tulisan yang baik. Ada banyak buku
tebal-tebal yang memang layak dijadikan sanggahan pintu. Bukan pula pada asupan
dana yang mencukupi atau tidak, tetapi pada alokasi dan penggunaannya. Koruptor
tidak menjadi perhatian saya, tetapi adanya korupsi atau tidak, manajemen dan
strategi yang boros akan mengalirkan dana tersebut ke tempat-tempat yang tidak
tepat. Masalahnya terletak pada pemikiran—alat pengolah dan pencipta
gagasan—yang melatarbelakangi munculnya tulisan, bacaan, dan dana.
Abraham Lincoln (1809-1865)
merupakan presiden yang terkenal dalam pemikirannya. Kisah mengenai semangat
membacanya sudah patut dikatakan legendaris. Tetapi sebenarnya masa muda
Lincoln tidak dihabiskan dengan berjam-jam di perpustakaan. Ia biasa membaca
pada malam hari di dekat perapian ruang tamu keluarganya yang miskin. Hidup di
desa yang kecil, bahan untuk dibacanya tidak dapat dikatakan berlimpah. Namun
demikian, kehausannya untuk membaca diimbangi dengan pengolahan gagasan yang
dituangkan bacaannya. Memang masalah utamanya bukan pada banyaknya informasi
dan bacaan, tetapi dengan apakah informasi tersebut dibaca, ditafsir, dilumat,
ditelan, dicerna, dan akhirnya dibuahkan.
Karena itu tidak cukup
hanya membaca saja, sebab pemikir bukan dibentuk melalui studi literatur semata.
Namun bagaimanapun seorang pemikir pasti berikhtiar untuk menjadi seorang
pembaca, sebaliknya seorang pembaca tidak selalu menjadi seorang pemikir.
Pembaca dan penulis saja tidak cukup, pemikirlah yang dibutuhkan. Ia senang
untuk mendapatkan bahan-bahan untuk dipertentangkan, dibanding, dibanting,
dibolak-balik di kepalanya. Niscayalah sebuah perpustakaan dipelihara dengan
seksama. Seolah-olah ia adalah denyut nadi bangsa pemikir yang tak boleh
terhambat.
Tetapi alangkah
sayangnya apabila seorang pemikir bukan pula seorang penulis. Bagaimanapun
juga, apakah gunanya sebuah pemikiran tanpa media penyampai?
Media tersebut
mengalami revolusi pada sekitar tahun 1450-1456. Johannes Gutenberg
(1400?-1468) memutar balik sejarah Eropa yang berdampak ke seluruh dunia. Ia
mencetak Kitab Suci orang Kristen beserta dengan traktat-traktat tulisan dari tokoh-tokoh
yang mempengaruhi pergolakan zaman itu. Perdebatan demi perdebatan terjadi
tidak lagi semata di udara, namun juga tergurat lekat pada kertas-kertas. Sampai
hari ini penganut iman Kristen Protestan dapat merunut identitas mereka pada
reformasi besar zaman itu. Media yang digunakan tidak lain berupa
tulisan-tulisan, yang terus menerus dicetak ulang hingga hari ini, menandai berbeloknya
arus semangat zaman.
Tulisan-tulisan
tersebut sekarang berbaris rapi dalam perpustakaan-perpustakaan di mancanegara.
Mereka menjadi guru-guru bagi murid-murid pada zaman mereka hingga sekarang.
Gagasan mereka senantiasa diperbandingkan, diulas, dan diejawantahkan kembali
dalam konteks baru. Mereka seakan masih hidup dan menafasi pergerakan yang
serupa di seantero dunia ini.
Menulis merupakan
aktivitas puncak dari seorang pemikir. Semua data yang pernah diperolehnya,
dilumat dan ditata sedemikian rupa untuk diwacanakan dalam konteks yang
berbeda. Dalam kepala pemikir tersebut ada data dan konteks yang dirajut
menjadi sebuah kain kebudayaan yang relevan. Menulis memang sebuah pekerjaan
yang sangat memakan waktu, namun tidak termakan oleh waktu; dicipta pada satu
tempat namun tersebar di berbagai tempat; dipikirkan oleh satu orang namun
diserap ribuan hingga jutaan orang. Menulis adalah pekerjaan yang melampaui
zaman. Menulis adalah gagasan lama yang baru.
Ratapan dan tangisan
sudah menjadi tayangan umum di bangsa ini. Penyebab deraian air asin tersebut
sudah tidak terhitung jumlahnya. Negara memang sedang sakit, jangan dikutuki
lagi. Melulu meratap dan menangis tidak pernah menyelesaikan masalah. Penyakit
tersebut membutuhkan obat. Genangan ratapan tangis tersebut dapat diciduk dan disiramkan
ke tempat yang lebih bermanfaat. Bukan lagi waktunya menambah genangan
tersebut. Sekarang adalah waktunya memanfaatkan genangan air menjadi sumber
daya.
Sebab itu apakah yang
Indonesia butuhkan? Di tengah carut marutnya negara dirundung berbagai badai
tajam, tulisanlah jangkar yang akan menandaskan keberadaan Indonesia. Sejarah
terjadinya bangsa ini diliputi oleh tulisan-tulisan para tokoh bangsa! Tatkala
identitas bangsa tersebut ditelan oleh kemarukan pejabat, maka bangsa akan
terbawa arus tanpa arah yang jelas.
Tetapi yang dibutuhkan
bukan sekedar menyimpan dan memuseumkan sejarah, namun memainkan kembali
gerakan sejarah tersebut dalam konteks yang baru. Karena itulah menulis
dibudidayakan kembali. Manusia Indonesia dididik bukan sebagai pendengar, namun
pencetus gagasan; bukan sebagai pembeo namun sebagai pemikir. Dengan banyaknya
guru-guru besar sepanjang zaman yang bersemayam di perpustakaan, seorang
pemikir tidak akan pernah kekurangan guru. Pandangan-pandangan tersebut
diangkat kembali dengan kritis, disintesiskan dengan keadaan bangsa yang
morat-marit, dipublikasikan dengan jernih dan segar menjadi gagasan yang
relevan. Berikutnya gagasan tersebut akan duduk bersama di barisan guru-guru
besar sepanjang sejarah kemanusiaan, menunggu untuk diangkat dan diwacanakan
kembali.
Itulah yang Indonesia
butuhkan. Seorang pemikir dengan ikhtiar untuk lebih banyak membaca dan menulis
secara berkualitas. Seorang pembaca, penulis, dan pemikir bangsa.
No comments:
Post a Comment