A BIBLE ETHICS FOR INTERNET USER
Dewasa ini, kehidupan setiap orang tidak bisa
dipisahkan dengan apa yang dinamakan komputer dan internet. Bayangkan saja, situs Google, Facebook, dan YouTube mengalami peningkatan akses
secara signifikan. Hampir semua pengguna
internet mengakses situs
ini setiap harinya. Lebih mengejutkan
lagi, di tahun 2005 majalah Time
memberikan gambar cermin untuk menobatkan Person
of the Year tahun itu yang tak lain dan tak bukan adalah pembaca majalah Time itu sendiri. Time
memberikan catatan bahwa seluruh pengguna internet-lah yang menjadi Person of the Year tahun itu karena
semua pengguna internet berperan besar dalam mengubah wajah dunia. Setiap orang dapat mengekspresikan dirinya, berbagi semua hal
melalui internet.
Ibarat jamur, jumlah pengguna internet kian lama
kian merebak dimana-mana. Laju peningkatannya pun tidak bisa
dihentikan. Dari tahun ke tahun data
statistik menunjukkan bahwa jumlah pengguna jasa internet terus mengalami
peningkatan yang jauh lebih tinggi dari waktu-waktu sebelumnya. Data statistik dari World Internet User and
Population Stats mencatat bahwa dari 6.767.805.208 jumlah penduduk di
dunia, 1.802.330.457 diantaranya
telah menggunakan internet sebagai alat bantu untuk mencari data. Jumlah ini jelas meningkat dengan begitu
drastisnya jika dibandingkan dengan jumlah pengguna internet terakhir pada
tahun 2000 yang hanya 360.985.492.[1] Lebih-lebih lagi
hal ini didukung dengan banyaknya
teknologi modern
seperti notebook, handphone, dan lain
sebagainya yang turut mempermudah akses internet bagi setiap kalangan.
Di Indonesia sendiri jumlah pengguna internetnya sudah
mencapai sekitar empat puluh lima juta jiwa.
Data ini diambil berdasarkan jumlah pengguna internet baik dari media komputer maupun
ponsel. Jumlah ini meningkat begitu
besar jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, dimana pada tahun 1999
dicatat bahwa baru hanya ada sekitar satu juta jiwa pengguna internet di Indonesia.[2]
Ironisnya, perkembangan teknologi internet dan
pengguna yang begitu besar tidak diikuti dengan perkembangan pengetahuan yang
benar tentang pemakaian internet itu sendiri.
Akibatnya, banyak pengguna internet yang bergelut dengan masalah etika
seperti pornografi dan pencurian data privacy
seseorang.
Data statistik menunjukkan bahwa enam puluh persen
dari pengguna internet telah masuk ke dalam situs seks dan pornografi.[3] Begitu banyak materi-materi porno yang di-expose dengan begitu
bebasnya di jejaring internet, dimana setiap orang bisa mengaksesnya dengan
begitu cepat dan mudah. American Demographic
Magazine mencatat bahwa pada tahun 2003 terdapat 260 juta situs porno
yang bisa di buka dengan bebas oleh berbagai kalangan yang memakai internet.[4] Hal ini telah menjadi masalah yang sangat
serius bagi perkembangan anak usia remaja. Sudah
begitu banyak anak-anak yang terlibat dalam kasus seks, pornografi, dan
pelecehan seksual akibat dari jejaring internet yang mempublikasikan materi
pornografi secara bebas. The
Kaiser Family Foundation menyatakan bahwa tujuh puluh persen anak remaja
usia belasan tahun mengunjungi situs pornografi ketika masuk ke jejaring
internet.[5] Di sisi lain penelitian dari Finkelhor,
Mitchell, dan Wolak dari Online Victimazation
menegaskan bahwa jumlah pelecehan seksual dari anak-anak usia remaja semakin
bertambah seiring bertambahnya jumlah pengguna internet.[6]
Masalah lainnya muncul dalam kasus penyalahgunaan informasi. Banyak orang yang tidak lagi merasa aman
ketika mereka harus berjejaring di dunia internet. Kasus-kasus seperti pencurian data privacy seseorang telah menjadi suatu
hal yang sangat meresahkan dan merugikan banyak kalangan. Ada orang yang kehilangan hartanya di bank
karena pencurian data rekening. Ada juga
yang mengalami kebangkrutan karena pencurian data perusahaan oleh karyawannya
sendiri. Ada orang yang tertipu lewat
penipuan melalui kedok hadiah.[7] Bahkan ada juga yang orang yang difitnah
melalui data-data pribadi yang seharusnya tidak dimiliki orang lain. Kompilasi data dari vendor keamanan komputer memperkirakan
bahwa pada saat ini terjadi satu pencurian identitas dalam setiap 3 detik atau
setara dengan 10 juta informasi pribadi per tahun. Informasi identitas personal yang bersifat
umum seperti jenis kelamin, umur, alamat, e-mail
dan pekerjaan serta data rahasia seperti nomor rekening bank dan data finansial
adalah komoditas yang paling diminati di pasar underground.[8]
Tulisan ini akan mencoba
memaparkan bagaimana masalah yang ditimbulkan akibat dari pelanggaran itu – secara
khusus dalam kasus pornografi dan penyalahgunaan informasi. Fokus dari artikel ini sendiri adalah untuk
menjelaskan bagaimana sudut pandang etika dalam iman kristen dapat memahami dan
menangani masalah-masalah ini. Kasus per
kasus tentang masalah pornografi dan penyalahgunaan informasi di dunia internet
akan dijelaskan secara mendetail dalam artikel ini, dimana hal ini dimaksudkan
agar pembaca dapat mengerti secara jelas bagaimana masalah yang ditimbulkan dan
bagaimana seharusnya etika iman kristen mereka dapat mengatasi masalah ini.
PENGERTIAN PORNOGRAFI
Sekitar
satu dekade ini, internet dapat dikatakan identik dengan pornografi. Dari hasil survei Top Ten Reviews, penulis mendapati bahwa ada lebih dari 4,2 juta
situs porno atau sekitar 12% dari total situs di dunia.[9] Berbicara tentang pornografi, penulis
mendapati beberapa masalah karena arti dari istilah ini sungguh sangat obyektif
sekali karena apa yang dinilai porno oleh seseorang belum tentu itu porno dalam
penilaian orang lain. Sebelum melangkah
lebih jauh lagi, perlu diketahui bahwa cakupan pornografi dalam pembahasan ini
hanya seputar masalah pornografi di jejaring internet saja.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah pornografi diartikan sebagai penggambaran
tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan
nafsu berahi; bahan bacaan yang dengan
sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.[10] Sementara itu, kamus bahasa Inggris Webster’s New Twentieth Century Dictionary
menguraikan kata pornografi dari bahasa aslinya (Yunani), yaitu porne yang artinya prostitute dan graphein yang
artinya to write, dan kata ini
didefinisikan sebagai berikut[11]:
Originally,
a description of prostitute and their trade; writings, picture, etc. intended
to arouse sexual desire; the production of such writings, pictures, etc.
Jadi, dari uraian di atas dapat
dikatakan bahwa pornografi adalah tulisan atau gambar yang dimaksudkan untuk
membangkitkan nafsu seksual orang yang melihat atau membacanya. Namun, kemudian hal ini berkembang bukan hanya
dalam bentuk tulisan dan gambar tetapi juga melalui berbagai media lain seperti
film, tarian, lagu dan sebagainya.
BENTUK-BENTUK PORNOGRAFI DI INTERNET
Pada
zaman yang
semakin maju ini, proses penyebaran pornografi menjadi sangat terfasilitasi,
apalagi dengan adanya internet. Sudah bukan
menjadi rahasia umum lagi, kalau di internet kita akan dengan mudah mendapatkan
berbagai materi yang berbau porno bahkan dalam berbagai bentuk, baik itu berupa
cerita, gambar, film, atau chatting
sekalipun.[12] Penulis mendapati bahwa penyebaran materi
porno di internet juga dipengaruhi oleh runtuhnya rezim Soeharto pada tahun
1998 yang menyebabkan terjadinya liberalisasi arus informasi.[13] Hal ini membuat Indonesia menjadi negara yang
memiliki tingkat kebebasan tertinggi dalam regulasi internet. Di Indonesia, setiap situs dapat diakses oleh
siapapun. Padahal, di negara-negara
liberal di benua Eropa dan Amerika tetap mengeluarkan aturan mengenai situs
yang tidak dapat diakses oleh oleh para konsumen internet, tetapi di Indonesia
tidak.[14]
Seiring
dengan perkembangan zaman yang semakin maju ini, internet menyuguhkan berbagai
kemudahan dan keuntungan bagi para konsumennya, secara khusus bagi para
penikmat pornografi. Namun, justru dari
berbagai kemudahan itulah semakin banyak orang yang terjebak dalam lingkaran
setan dari pornografi. Kemudahan itu di
antaranya adalah informasi yang mudah diperoleh, gratis, tanpa identitas, dan dapat
dikatakan sebagai sebuah “kebetulan.”[15] Karena mudah diperoleh inilah yang membuat
setiap orang yang dapat menggunakan internet dapat mengakses materi pornografi
tanpa ada batasan usia. Banyak pula
materi internet yang disediakan gratis dari para provider yang membuat setiap orang dapat masuk ke situs ini dan
menikmati materi porno dengan leluasa. Internet juga memberikan privacy kepada konsumennya karena tidak
akan ada data seseorang yang telah masuk dalam situs porno. Dan yang terakhir, banyak yang nampaknya
materi porno ini didapat secara “kebetulan” melalui e-mail. Untuk modus ini, provider justru mencari “mangsa” dengan
mengirimkan spam-spam dengan content porno ke alamat e-mail si calon “mangsa.” Dan dalam kasus ini, pornografi berkaitan
langsung dengan pembahasan di bagian selanjutnya mengenai penyalahgunaan
informasi dengan menggunakan internet.
DAMPAK PORNOGRAFI
Pornografi banyak memberikan dampak baik itu positif
maupun itu negatif dan baik itu secara individu ataupun dalam hubungan
sosial. Bagi sebagian orang, pornografi
dianggap sebagai seseuatu yang tidak berbahaya baik bagi para modelnya maupun
bagi orang yang melihatnya.[16] Pornografi ini adalah sebuah hiburan dan
dianggap memberikan keuntungan karena dapat dipakai untuk membantu orang dalam
menghadapi ketidakpuasan seksual, dapat mengurangi ketegangan, dan fungsinya
hanyalah sebagai sarana guna mengekspresikan kebutuhan seksual manusia. Sementara itu, bagi para model dan
orang-orang yang terlibat dalam bisnis ini, pornografi memberikan keuntungan
yang besar karena dari pekerjaan itulah mereka mendapat penghasilan yang
lumayan besar.[17]
Namun demikian, secara umum dapat
dilihat bahwa rusaknya moral dan perubahan perilaku seseorang itu banyak
disebabkan
oleh pornografi. Pornografi akan mendistorsi[18]
pandangan seseorang terhadap seksualitas.
Seks tidak lagi dipandang sebagai suatu kekudusan yang harus dijaga
tetapi sesuatu yang nilainya sangat rendah.
Seks itu sendiri nantinya hanya akan menjadi pemuas nafsu semata dan
dalam jangka panjang akan akan mendorong seseorang ke arah free sex atau peprgaulan bebas, perselingkuhan, dan juga
meningkatkan kasus kriminalitas di bidang seksual. Dan apabila seseorang itu mengkonsumsi
pornografi dalam waktu yang lama dan secara berkelanjutan, maka akan memberikan
efek candu pada orang yang bersangkutan itu.[19]
Norman
Geisler dalam bukunya yang berjudul “Christian
Ethics: Contemporary Issues and Options” mengungkapkan bahwa dampak dari
pornografi adalah sebagai berikut,
yaitu pornografi
menyebabkan agresi di antara individu-individu, pornografi menciptakan sebuah model
perilaku binatang dalam diri manusia, pornografi mengakibatkan Neurosychology dalam diri manusia, pornografi menciptakan sejenis kecanduan
yang mirip dengan kecanduan obat-obatan terlarang dalam otak, pornografi telah dihubungkan pada
kasus kriminal yang lainnya,
pornografi
menyebabkan ketidaksempurnaan fungsi dari sebuah keluarga, pornografi mengijinkan
ketidaksempurnaan seksual menjadi sebuah norma di masyarakat, pornografi diartikan sebagai fantasi seksual yang membawa kepada
penyimpangan tingkah laku seseorang, pornografi menghentikan
kencan yang normal, pacaran, dan hubungan
pernikahan, pornografi
mengakibatkan kesulitan finansial di dalam masyarakat, pornografi merendahkan hubungan seks sebagai perilaku binatang,
dan pornografi
menyebabkan degradasi aktifitas seksual.[20]
PORNOGRAFI DITINJAU DARI SUDUT PANDANG
IMAN KRISTEN
Pada intinya, pornografi itu adalah untuk
membangkitkan gairah seksual. Namun,
menurut J. H. Court, adanya kaitan antara
pornografi dengan dengan imoralitas seksual.
Di dalam Alkitab telah sangat jelas dituliskan mengenai hal ini. Dalam Matius 5:28 disebutkan bahwa jika
seseorang laki-laki memandang seorang wanita dan menginginkannya, maka
laki-laki itu dapat dikatakan sudah melakukan sebuah perzinahan di dalam
pikirannya. Sementara itu, King menyebutkan bahwa pornografi itu merupakan suatu hal di mana
manusia telah menggantikan kemuliaan Allah dengan gambaran manusia dan
hewan. Pernyataan ini sesuai dengan apa
yang dituliskan oleh rasul Paulus dalam Roma 1:23, 25.[21]
King memberikan penambahan bahwa
melalui tiga kata yang digunakan oleh rasul Paulus dalam menuliskan
surat-suratnya yang memberi arti sebagai dosa seksual, yaitu aselgeia, epitimo, dan porneia itu menggambarkan dosa seksual
yang dengan jelas terlihat dalam pornografi.
Berangkat dari setiap pengertian ketiga kata itu pornografi
adalah sebuah gaya hidup
yang tidak bermoral, dorongan untuk mencari kepuasan, dan hawa nafsu.[22] Bagi Paulus, dosa seksual itu merupakan
sebuah dosa yang sangat serius. Ini
terlihat dalam Efesus 5:5, “Karena ingatlah ini
baik-baik: tidak ada orang sundal,
orang cemar atau orang serakah, artinya penyembah berhala, yang mendapat bagian
di dalam Kerajaan Kristus dan Allah.”
Kata “orang sundal” yang dipakai oleh Paulus adalah pornos yang akar katanya adalah porneia. Jadi, orang-orang sundal itu tidak akan
mendapat bagian dalam Kerajaan Kristus.[23]
Dalam buku Christian Ethics, Norman Geisler memberikan penguraian terhadap
tinjauan
pornografi yang dilihat dari Alkitab sebagai dasar iman Kristen. Dia menyebutkan bahwa pornografi itu
menggambarkan hubungan seks sebagai sebuah perilaku yang penuh dosa (Ibr.
13:4; Ef. 5:3-6), pornografi tidak lagi
menghormati pernikahan (Rm. 1:32), pornografi membawa tindakan yang penuh dosa
ke dalam kehidupan orang percaya (1Ptr. 5:8-9; Gal. 5:19-21;
1Kor. 6:18; 1Kor 6:15; Ibr.
11:25), pornografi memperkuat nafsu birahi dan perzinahan dalam hati seseorang
(Mat. 5:27-30; Mat. 15:17-19; Rm. 13:14), pornografi merusak hati dan
pikiran (1Kor. 5:5-6), pornografi membutakan hati pikiran orang percaya (Mat.
6:22-23; 7:17-20; Yak. 3:11-12; Ef.
5:3-5), pornografi melemahkan pernikahan yang utuh (Kej.
2:22-25; Ibr. 13:4).
PENGERTIAN PENYALAHGUNAAN INFORMASI[24]
Definisi penyalahgunaan informasi di
dalam internet bermacam-macam.
Kebanyakan orang menyebutnya dengan fraud. Fraud
mempunyai pengertian sebagai berikut, “wrongful or criminal deception intended to
result in financial or personal gain.”[25] Dengan kata lain, informasi yang digunakan
salah atau informasi yang digunakan benar namun dengan maksud memperoleh
keuntungan ekonomi maupun keuntungan pribadi merupakan penyalahgunaan
informasi.
Lain halnya dengan Federal Trade Commission Amerika.[26] Mereka memberi nama penyalahgunaan informasi
ini dengan nama identity theft, yang
didefinisikan sebagai “someone
uses your personally identifying information, like your name, Social Security
number, or credit card number, without your permission, to commit fraud or
other crimes.”[27] Seseorang yang menggunakan informasi dari
seseorang lain tanpa izin orang yang bersangkutan sudah dikatakan terlibat
dalam penyalahgunaan informasi.
Wikipedia juga
memberikan definisinya sendiri, memakai term
kata yang persis sama dengan FTC Amerika yaitu dengan identity theft, yang mempunyai definisi sebagai berikut, “a form of fraud in which someone pretends to
be someone else by assuming that person's identity, typically in order to
access resources or obtain credit and other benefits in that person's name.”[28] Suatu bentuk penipuan di mana seseorang
berpura-pura untuk menjadi orang lain yang mana data orang lain tersebut
digunakan untuk mengakses suatu sumber tertentu atau menggunakan kartu kredit
atau keuntungan atas nama orang lain tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa
penyalahgunaan informasi ini berkaitan dengan penggunaan informasi orang lain
untuk kepentingan diri kita sendiri tanpa izin dari orang tersebut. Informasi ini dapat berupa apapun yang
menyangkut diri, alamat, nomor kartu kredit, username dan password,
maupun nomor-nomor yang lain.
BENTUK-BENTUK PENYALAHGUNAAN INFORMASI
Penyalahgunaan informasi muncul dari
berbagai macam hal. Menurut survei yang
dilakukan oleh Graeme R. Newman dan Megan M. McNally pada Juli 2005 yang
mengacu kepada data Lacoste dan Tremblay (2003), keduanya menyimpulkan bahwa setidaknya
ada empat model dari penyalahgunaan informasi ini[29]:
Pertama, yaitu dengan menggunakan
kelemahan dari teknologi sistem informasi itu sendiri. Teknik yang dipakai adalah dengan menggunakan
kelemahan chip magnetik itu
sendiri. Biasanya alat yang dipakai
untuk “menggesek” ditambahkan semacam software buatan untuk mengambil data yang
telah dimasukkan. Karena kartu kredit
tidak menggunakan PIN dan hanya mengandalkan verification number atau yang biasa disebut CVC, maka pencurian
informasi semacam ini sangat mudah untuk dilakukan.
Kedua, dengan mengadakan penipuan
identitas finansial. Penipuan yang
terjadi dengan menggunakan apa yang disebut phishing
di mana seseorang dikirimkan suatu e-mail
atau sebuah penipuan nama website
yang mengatakan bahwa e-mail tersebut
resmi dari lembaga keuangan tertentu atau website
yang mempunyai nama mirip dengan website
yang asli. Contohnya: menyebarkan e-mail yang meminta informasi dari
seseorang, yang seolah-olah e-mail
tersebut berasal dari lembaga keuangan yang dimiliki seseorang. Atau dengan membuat situs website yang sama persis dengan situs
aslinya, misalnya www.citi-bank.com, www.citibang.co.id, sehingga ketika
informasi dimasukkan di dalam situs tersebut, informasi tersebut dapat
disalahgunakan.
Ketiga, memperoleh informasi dari
kelalaian manusia. Mencari kartu kredit
yang tercecer atau informasi tagihan di kertas yang dapat terlihat
informasinya. Informasi itu kemudian
digunakan kembali untuk kepentingan tertentu tanpa seizin pemiliknya.
Keempat, mendapatkan suatu informasi
secara legal, namun digunakan secara tidak bertanggung jawab. Semacam penggunaan informasi di lingkup social network yang memang
memperbolehkan pengguna untuk melihat informasi pengguna lainnya, namun
seharusnya tidak digunakan untuk kepentingan yang “miring.”
DAMPAK-DAMPAK PENYALAHGUNAAN INFORMASI[30]
Penyalahgunaan informasi memiliki
berbagai macam dampak sosial, banyak di antaranya sangat merugikan orang
lain. Berbagai macam dampak yang terjadi
beragam, mulai kerugian material maupun kerugian nama baik, dan
sebagainya. FTC Amerika setidaknya
memberikan 5 macam kerugian yang bisa terjadi yang meliputi berbagai sektor:
Pertama, kerugian yang diderita secara
material lewat penipuan kartu kredit (credit
card fraud). Kartu kredit yang
tiba-tiba saja berisi banyak tagihan di dalamnya atau penggantian alamat kartu
kredit sampai beberapa waktu tertentu sampai seseorang menyadarinya.
Kedua, kerugian atas biaya
penggunaan layanan tertentu. Penipuan
yang terjadi bisa melibatkan proses aplikasi beberapa utilitas, seperti
aplikasi kartu kredit menggunakan nama orang lain, aplikasi pembukaan jaringan
internet, dan sebagainya.
Ketiga, kerugian nama baik.[31] Informasi orang lain bisa digunakan untuk
menyerang orang lain sehingga nama orang tersebut menjadi buruk, atau dengan
sengaja menjelek-jelekkan orang yang informasinya didapatkan tersebut.
Keempat, kehilangan privasi.[32] Dengan terkoneksinya internet, informasi
pribadi menjadi luas tersebar.
Pelanggaran traffic light yang
terekam pada kamera pengintai bisa diakses lewat internet, sehingga dari plat
mobil pun, seseorang bisa diketahui identitasnya.
Kelima, kehilangan proteksi yang
seharusnya diterimanya.[33] Informasi yang tidak jelas akan menghapus
seseorang dalam hak-hak proteksinya oleh negara ataupun lembaga. Pengubahan informasi atau double entry dalam suatu data akan
menghanguskan proteksi-proteksi yang sebenarnya bisa dimiliki seseorang.
TINJAUAN KEKRISTENAN DALAM PENYALAHGUNAAN INFORMASI
Jelas sekali kekristenan menentang hal
ini. Etika Kristen memandang hal ini
sebagai suatu dosa, suatu tindakan yang dilakukan yang berlawanan dengan perintah
Tuhan.
Dalam Keluaran 20:16[34], Tuhan
memerintahkan setiap orang untuk tidak mengucapkan saksi dusta tentang
sesamamu. Hal ini berparalel dengan
Ulangan 5:20 yang sama mengatakan hal yang demikian. Konteks Alkitab mengatakan bahwa tidak
sekedar hanya mengucapkan saksi dusta di mulut saja, melainkan mempunyai arti
untuk melindungi seseorang dari ancaman penggunaan informasi yang salah, yang
dapat memberikan kerugian dari orang tersebut, membahayakan sesama akibat
informasi yang salah.[35] Bahkan menurut eksegesis yang dikatakan oleh
Rabi Andrè Chouraqui, perintah itu mempunyai arti “You shall not defraud your
neighbor.[36]” Terdapat larangan untuk menyalahgunakan
informasi seseorang.
Dengan demikian, penyalahgunaan
informasi termasuk di dalam pelanggaran hukum Taurat. Kebohongan bertentangan dengan kebenaran,
sehingga kebohongan itu melawan Allah.
Tidak ada alasan untuk melakukan hal ini dengan perkecualian apapun.[37]
Dengan berkembangnya informasi yang
begitu deras melalui internet, maka informasi menjadi semakin ambigu. Berita-berita yang disebarkan kadang-kadang
tidak benar. Terkadang juga menyerang
sesama dan parahnya, hal ini menjadi sudah biasa dan dianggap tidak
apa-apa. Tetapi kekristenan menentang
hal-hal ini dan perintah Tuhan menuntut untuk setia menyuarakan kebenaran
setiap saat. Suatu “kesaksian[38]”
adalah kesaksian mengenai sesuatu dalam diri seseorang (integritas diri), lebih
dari suatu kesaksian itu sendiri yanf sekedar kata-kata. Hal ini melibatkan diri seseorang secara
penuh, tidak sekedar perkataan. Suatu
“kesaksian” melibatkan hal yang komprehensif dalam diri.[39] Kesaksian harus digunakan dengan benar, tidak
hanya dengan motif yang benar, melainkan juga cara yang benar.
KESIMPULAN
Di dunia yang serba instan dan tidak
bisa dilepaskan dari internet ini, kejahatan semakin merajalela dengan buas,
terutama godaan pornografi dan penyalahgunaan informasi. Etika semakin dipengaruhi oleh godaan-godaan
ini dan menjadi terdistorsi. Di sinilah
pentingnya suatu etika yang tidak berubah, etika yang sesuai dengan standar
kebenaran, yaitu etika Kristen, yang mampu menjawab semua tantangan tersebut.
Etika Kristen meninjau semua tantangan
tersebut dan menemukan bahwa pornografi dan penyalahgunaan informasi adalah
suatu dosa yang harus dihindari oleh semua masyarakat Kristen. Firman Tuhan dengan jelas-jelas menentang
segala macam bentuk pornografi dan penggunaan data secara sembarangan. Hal ini bertentangan dengan apa yang diperintahkan
Tuhan. Melakukan semua hal tersebut
berarti melawan dan memberontak terhadap Tuhan.
Tuhan telah menciptakan manusia segambar dan serupa dengan-Nya sehingga
pornografi merusak esensi dalam diri manusia tersebut yang melanggar perintah
Tuhan pada hukum yang ketujuh. Sedangkan
penyalahgunaan informasi bertentangan dengan perintah Tuhan kesembilan yang
hakikatnya adalah untuk melindungi orang lain dari ancaman informasi yang tidak
bertanggung jawab.
Pada akhirnya, kekristenan memiliki
tanggung jawab penuh untuk menyuarakan kebenaran demi kebenaran itu sendiri
serta menjadi garam dan terang bagi dunia, memancarkan etika yang baik dan
bertanggung javab.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
BUKU:
________. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaja, 1999.
Braaten, Carl E. “Sins of the Tongue,” dalam I
Am the Lord Your God: Christian Reflections on the Ten Commandments.
Ed. Carl E. Braaten &
Christopher R. Seitz. Grand Rapids:
Eerdmans, 2005.
Dixon, Patrick. Cyber
Church: Christianity and the Internet.
Lottbridge Drove: Kingsway, 1997.
Frame, John M. The Doctrine of
Christian Life. Phillipsburg: Presbyterian and Reformed, 2008.
Geisler,
Norman. Christian Ethics: Contemporary Issues and Options. Grand Rapids: Baker, 2010.
Gill, David W. Doing
Right: Practicing Ethical Principles. Downers Grove: InterVarsity, 2004.
Henry, Carl F.
Baker’s Dictionary of Christian
Ethics. Virginia: Canon Press, 1973.
Soanes, Catherine & Angus Stevenson.
“Fraud,” dalam Concise Oxford English Dictionary
11th ed. Oxford: Oxford University Press, 2004.
Webster, Noah.
Webster’s New Twentieth Century Dictionary. Webster: Collins World, 1977.
Willingham, Russel. Breaking Free. Downers
Grove: InterVarsity,
1999.
JURNAL:
Ade Armando, “Apakah pornografi mendasari kekerasan.”
Jurnal
Perempuan Volume 26 (2002) 76-86.
Graeme R. Newman & Megan M.
McNally, “Identity Theft Literature Review.” U.S. Department
of Justice 210459
(2005) 4-6.
SKRIPSI:
King,
Monica. Konsep Bebas dari Dosa menurut Paulus berdasarkan Roma
6:1-14 dan Aplikasinya dalam Pelayanan Pastoral bagi Orang Kristen yang
Kecanduan Pornografi.
Malang:
SAAT, 2007.
INTERNET:
___________. “Pornography,”
http://www.freedomsex.org/pornography.htm
Federal Trade Commision. “Fighting Back Against Identity Theft: Deter.
Detect. Defend,” http://www.ftc.gov/bcp/edu/microsites/idtheft/consumers/about-identity-theft.html.
Internet
World Stats. “World Internet User &
Population Stats,” http://internetworldstats.com/ stats.htm.
Laaser, Mark. “The Damaging Effects of Internet
Pornography,” http://www.faithfulandtrue ministries.com/a_congtest.php.
Mazalisa,
Zanial. “Pornografi di Internet,”
http://nayel.multiply.com/journal/item/19/Pornografi _di_ Internet_.
SMP
Negeri 1 Cipanas Lebak. “Penyalahgunaan
Internet,” http://greenchool.blogspot.com/ 2009/10/penyalahgunaan-internet.html.
Suryadhi,
Ardhi. “Pengguna Internet Indonesia
Capai 45 Juta,” http://www.detikinet.com/ read/2010/06/09/121652/1374756/398/pengguna-internet-indonesia-capai-45-juta/?i9911
01105.
Telkom
Speedy. “Trend Keamanan Internet
Indonesia 2010,” http://opensource.telkomspeedy. com/wiki/
index.php/Trend_Keamanan_Internet_Indonesia_2010.
Wahono, Romi Satria. “US Adult Internet User Demographics-Age,”
http://romisatriawahono .net/wp-content/uploads/2008/04/usadultinternetuser.gif.
__________________.
“Top Worldwide Search Request,” http://romisatriawahono.net/wp-content/uploads/2008/04/search-porn.gif.
___________________. “Kupas
Tuntas Pornografi di Internet,” http://agungcyber.blog spot.com/2008/04/indonesia-rangking-7-kupas-tuntas.html.
Wikipedia. “Identity Theft,” http://en.wikipedia.org/wiki/Identity_Theft#cite_note-10.
[1]Internet World Stats, “World
Internet User & Population Stats,” http://internetworldstats.com/stats.htm.
[2]Ardhi Suryadhi, “Pengguna
Internet Indonesia Capai 45 Juta,” http://www.detikinet.com/read/2010/ 06/09/121652/1374756/398/pengguna-internet-indonesia-capai-45-juta/?i991101105.
[3]Romi Satria Wahono, “US Adult
Internet User Demographics-Age,” http://romisatriawahono.net/wp-content/uploads/2008/04/usadultinternetuser.gif.
[4]Romi Satria Wahono, “Top
Worldwide Search Request,” http://romisatriawahono.net/wp-content/uploads/ 2008/04/search-porn.gif.
[5]Romi, “US Adult.”
[6]SMP Negeri 1
Cipanas Lebak, “Penyalahgunaan Internet,” http://greenchool.blogspot.com/2009/10/
penyalahgunaan-internet.html.
[7]Kasus ini
disebut phishing. Phishing berasal dari kata fishing alias memancing. Para pelaku (phishers) berusaha memancing atau memperoleh data-data pribadi
orang lain dengan menggunakan e-mail
dan situs-situs tertentu sebagai umpan. Data
statistik dari seorang analis teknologi informasi yang bernama Gartner
menyebutkan bahwa terdapat 3,6 juta orang kehilangan uang pada tahun 2007
akibat penipuan phishing ini. Bdk. dengan http://rizky-yogh4.blogspot.com/2009/01/kasus-pencurian-data.html.
[8]Telkom Speedy,
“Trend Keamanan Internet Indonesia 2010,” http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/
index.php/Trend_Keamanan_Internet_Indonesia_2010.
[12]Zanial Mazalisa,
“Pornografi di Internet,” http://nayel.multiply.com/journal/item/19/Pornografi_di_
Internet_.
[18]Kata “distorsi” menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia memiliki arti pemutarbalikan suatu fakta, aturan, dsb. Jadi, dalam kasus ini distorsi memiliki arti
sebagai penyimpangan terhadap suatu kebenaran atau mungkin yang lebih tepatnya
adalah terjadinya kesalahpahaman dalam menerima informasi.
[20]Disarikan dari Norman Geisler, Christian Ethics: Contemporary Issues and
Options halaman 382-386.
[24]Disarikan dari berbagai macam
sumber.
[25]Catherine Soanes
& Angus Stevenson, “Fraud,” dalam Concise Oxford English Dictionary 11th ed. (Oxford: Oxford University
Press, 2004).
[26]Lembaga semacam KADIN di
Indonesia.
[27]Federal Trade Commision,
“Fighting Back Against Identity Theft: Deter. Detect. Defend,” http://www.ftc.gov/bcp/edu/microsites/idtheft/consumers/about-identity-theft.html.
[29]Graeme R. Newman and Megan M.
McNally, “Identity Theft Literature Review” U.S.
Department of Justice 210459 (2005) 4-6.
Bdk. dengan metode yang dikemukakan oleh FTC dalam http://www.ftc.gov/bcp/edu/microsites/idtheft/consumers/about-identity-theft.html.
[30]Disarikan dari http://www.ftc.gov/bcp/edu/microsites/idtheft/consumers/about-identity-theft.html.
[31]Patrick Dixon, Cyber Church: Christianity and the Internet
(Lottbridge Drove: Kingsway, 1997) 117.
[32]Ibid. 118.
[33]Federal Trade Commission,
“Fighting Back.”
[35]David W. Gill, Doing Right: Practicing Ethical Principles
(Downers Grove: InterVarsity Press, 2004) 282.
[36]Ibid. 283.
[37]Carl E. Braaten, “Sins of the
Tongue,” dalam I Am the Lord Your God:
Christian Reflections on the Ten Commandments (ed. Carl E. Braaten and
Christopher R. Seitz; Grand Rapids: Eerdmans, 2005) 214.
[38]Perkataan, atau dalam hal ini comment yang diberikan di Internet
maupun statement.
[39]John M. Frame, The Doctrine of Christian Life
(Phillipsburg: Presbyterian and Reformed, 2008) 398.